Sabtu, 24 Mei 2014

A.     Pengertian Pendidikan Kemuhammadiyahan
Pendidikan Kemuhammadiyahan adalah salah satu mata pelajaran pokok di semua lembaga pendidikan Muhammadiyah. Dari pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi di bawah persyarikatan Muhammadiyah.  Semua tingkatan pendidikan tersebut wajib melaksanakan pendidikan Kemuhammadiyahan. Saat ini secara normatif telah disusun rumusannya dalam bentuk bahan ajar Al Islam dan Kemuhammadiyahan.

B.      Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kemuhammadiyahan
1.   Maksud Pendidikan Kemuhammadiyahan
Maksud pendidikan Kemuhammadiyah adalah sebagai sarana untuk penyampaian pendidikan Muhammadiyah. Pentingnya pendidikan di masa depan menuntut Muhammadiyah untuk menjawab ketertinggalannya selama ini di bidang pendidikan. Salah satunya dengan melakukan penyempurnaan kurikulum Al Islam dan Kemuhammadiyahan.

2.   Tujuan Pendidikan Kemuhammadiyahan
Kemuhammadiyahan dijadikan pelajaran pokok dengan tujuan agar dapat diamati, dipahami dan dihayati oleh setiap peserta didik. Selain itu diharapkan agar kelak peserta didik bersedia dengan suka rela mengamalkan berbagai prinsip keyakinan dan cita-cita persyarikatan Muhammadiyah. Harapan tersebut sekiranya tidak berlebihan karena ada beberapa alasan antara lain sebagai berikut:
a.     Muhammadiyah memerlukan Penerus Keyakinan, Cita-Cita dan Amal Usahanya
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai organisasi Islam yang bertaraf nasional. Muhammadiyah juga sebagai gerakan yang memiliki amal usaha begitu banyak dan beragam. Amal usaha Muhammadiyah meliputi bidang keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan dan pendidikan. Muhammadiyah perlu menyadari sepenuhnya bahwa untuk meneruskan gerakan atau amal usaha tersebut mutlak diperlukan kader penerus. Persyarikatan ini membutuhkan kader penerus yang berkualitas dan penuh pengabdian. Selain itu memahami arah dan tujuan misi yang diemban oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu, salah satu fungsi lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah sebagai lembaga pembibitan kader.
Lembaga pendidkan Muhammadiyah juga berperan sebagai lembaga penyemai kader Muhammadiyah disamping kader umat dan kader bangsa. Mengingat peranan tersebut, maka peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah senantiasa dikenalkan, dilatih serta diajak menghayati cita-cita agung Muhammadiyah. Adapun cita-citanya yaitu li i’laai kalimaatillaah, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam serta demi tercapainya ‘Izzul Islaam Wal Muslimiin.

b.     Muhammadiyah perlu Dikenal oleh Angkatan Muda Muhammadiyah
Diajarkannya mata pelajaran Kemuhammadiyahan, sekurang-kurangnya angkatan muda Indonesia dapat mengenal apa Muhammadiyah. Terutama mereka yang memasuki jalur pendidikan formal di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Selain itu mengenal peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan adanya mata pelajaran tersebut generasi Muda Indonesia dapat mengetahui secara obyektif tentang persyarikatan Muhammadiyah. Bahwa persyarikatan tersebut merupakan sebuah gerakan Islam yang tersebar di Indonesia dan telah berjasa ikut serta membangun bangsa Indonesia. Muhammadiyah telah menyumbangkan andilnya kepada bangsa Indonesia dengan putera puteri terbaiknya ikut berjuang di kancah perjuangan kemerdekaan dan mengisinya hingga sekarang.

3.   Ruang Lingkup Pendidikan Kemuhammadiyahan
Ruang lingkup dari pendidikan Kemuhammadiyahan adalah segala hal yang berhubungan dengan persyarikatan Muhammadiyah. Di dalamnya memuat segala aspek tentang seluk beluk Muhammadiyah, yaitu aspek sejarah berdirinya, organisasi, perjuangan, amal usaha dan tokoh pemimpinnya. Semua dipelajari secara bulat, menyeluruh ddan integral tentang Muhammadiyah. Ada 3 metode pendekatan yang digunakan untuk mempelajari Muhammadiyah dalam pendidikan Kemuhammadiyahan, antara lain sebagai berikut:
a.     Pendekatan Historis
Aspek pertama yang digunakan dalam mempelajari Muhammadiyah melalui pendekatan historis/sejarah. Pendekatan ini berarti mempelajari latar belakang berdirinya, sejarah perkembangannya, berbagai amal usahanya dan hasil-hasil yang telah dicapai dan sekaligus mempelajari cirri-ciri khas yang melekat pada jati diri Muhammadiyah. Ciri tersebut yang membedakan dengan gerakan-gerakan lainnya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia maupun yang ada di alam Islami (Dunia Islam).

b.     Pendekatan Ideologis
Aspek kedua adalah melalui pendekatan ideologis/dari segi keyakinan dan cita-citanya. Pendekatan ini yang paling penting sebab melalui keyakinan akan dikenal hakikat jati diri Muhammadiyah yang sebenar-benarnya. Dapat dikenal juga isi dan jiwa Muhamadiyah yang sesungguhnya, dikenal watak dan kepribadiannya. Dikenal dorongan-dorongan yang menggerakkan seluruh aktiivitas Muhammadiyah, dikenal juga apa yang menjadi pandangan/keyakinan hidupnya serta cita-cita perjuangannya.
Dalam pendekatan ini ada 3 materi yang harus dikaji dan dibahas secara mendalam, yaitu Kepribadian Muhammadiyah, Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.

c.     Pendekatan Struktural
Maksudnya adalah pendelatan dari segi susunan organisasinya. Mempelajari organisasi Muhammadiyah untuk mengetahui bagaimana Muhammadiyah melancarkan amal usahanya dengan system organisasi.



Bagaimana Muhammadiyah menyusun tenaga manusia yang ada di dalamnya mengatur tugas, cara-cara pengerahan dan pengarahan aktivitasnya. Jalinan hubungan dan usaha pengerahan serta fasilitas yang semuanya diatur secara rapi dan tertib sehingga gerakannya lincah, dinamis dan luwes. Sekaligus dengan pendekatan ini pula akan dikenal Khittah Perjuangan Muhammadiyah atau strategi dasar perjuangan Muhammadiyah.

C.    Janji Pelajar Muhammadiyah
Ada 6 janji pelajar Muhammadiyah yang harus dijunjung dan diamalkan. Adapun isi janji pelajar Muhammadiyah sebagai berikut:
Asyhadu An Laa Ilaaha illallaahu Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullaahu
Kami Pelajar Muhammadiyah berjanji:
1.      Menegakkan dan Menjunjung Tinggi Perintah Agama Islam.
2.      Hormat dan Patuh Kepada Orang Tua dan Guru.
3.      Bersih Lahir, Batin dan Teguh Hati.
4.      Rajin Belajar dan Giat Bekerja serta Beramal.
5.      Berguna Bagi Masyarakat dan Negara.
6.      Sanggup Melangsungkan Amal Usaha Muhammadiyah.
Final Liga Champions, Minggu (24/5/2014) dini hari nanti digelar mulai pukul 01.30 WIB. Bursa prediksi Real Madrid vs Atletico Madrid menjadi buruan.
Derby Madrid di final Liga Champions dinihari, Minggu (25/5/2014) WIB, akan jadi laga yang sengit. Pasalnya dilihat dari lima laa terakhir, keduanya saling mengungguli satu sama lain. Bursa taruhan di eropa menjagokan El Real menang dengan keunggulan tipis 2-1 atau 1-0.
Bursa taruhan Eropa, Bwin menempatkan skor 1-1 dan 1-0 sebagai prediksi terpopuler. Angka tipis ini sepertinya dipengaruhi rekor head-to-head kedua tim yang jarang berakhir dengan skor telak.
Di situs judi WilliamHill prediksinya nyaris serupa. 1-0 dan 2-1 untuk Real Madrid. Skybet, oddshecker dan soccerbase juga menempatkan skor tipis 2-1 dan 1-0 di prediksi terpopuler.
Situs-situs taruhan itu tampaknya sepakat menempatkan Atletico Madrid sebagai non-unggulan. Barangkali ini mengingat kedua pemain kunci Atleti yang diragukan tampil.
Arda Turan dan Diego Costa belum pasti merumput, sementara Real Madrid akan tampil minus Karim Benzema dan Xabi Alonso. El Real masih bisa menutupnya dengan duet Modric-Khedira di lini tengah dan Isco sebagai pelapis Benzema.
Head to Head
  • La Liga? (2/3/2014) Atletico Madrid – Real Madrid 2-2
  • Copa del Rey ?(11/2/2014) Atletico Madrid – Real Madrid 0-2
  • Copa del Rey (5/2/2014) Real Madrid – Atletico Madrid 3-0
  • La Liga (28/8/2013) Real Madrid – Atletico Madrid 0-1
  • Copa del Rey ?(17/5/2013) Real Madrid – Atletico Madrid 1-2
Lima Pertandingan terakhir Real Madrid
  • La Liga (17/5/2014) Real Madrid – Espanyol 3-1
  • La Liga (11/5/2014) Celta – Real Madrid 2-0
  • La Liga (7/5/2014) Valladolid – Real Madrid 1-1
  • La Liga (4/5/2014) Real Madrid – Valencia 2-2
  • Liga Champions (29/3/2014) Bayern Munchen – Real Madrid 0-4
Lima Pertandingan Terakhir Atletico Madrid
  • La Liga (17/5/2014) Barcelona – Atletico Madrid 1-1
  • La Liga (11/5/2014) Atletico Madrid – Malaga 1-1
  • La Liga (4/5/2014) Levante – Atletico Madrid 2-0
  • Liga Champions (30/4/2014) Chelsea – Atletico Madrid 1-3
  • La Liga (27/4/2014) Valencia – Atletico Madrid 0-1

1. Pengertian Studi Kasus
Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Surachrnad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. SementaraYin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelasan bahwa dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalarn. Para peneliti berusaha menernukan sernua variabel yang penting.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.

2. Jenis-jenis Studi Kasus
a. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada perhatian organisasi
tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan rnenelusuni perkembangan organisasinya. Studi mi sening kunang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena sumbernya kunang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.
b. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalul observasi peran-senta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
c. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu onang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hiclup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dan lahir hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan topik tertentu lainnya.
d. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus organisasi dan studi kasus observasi.
e. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
f. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar menggambar.
    3. Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus
a. Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan
(purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih oleh peneliti dengan
menjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masvarakat atau unit
sosial. Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga
dapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumbersumber yang tersedia;
b. Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalarn pengumpulan data, tetapi yang
lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai instrurnen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data yang berbeda secara serentak;
c. Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dan lapangan;
d. Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya clilakukan penvempurnaan atau penguatan (reinforcement) data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada;
e. Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, rnudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga rnernudahkan pembaca untuk mernahami seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehiclupan seseorang atau kelompik.

4. Ciri-ciri Studi Kasus yang Baik
a. Menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum
atau bahkan dengan kepentingan nasional.
b. Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan
oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan kasusnya mampu
diselesaikan oleh penelitinya dengan balk dan tepat meskipun dihadang oleh
berbagai keterbatasan.
c. Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang
berbeda-beda.
d. Keempat, studi kasus mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting saja,
baik yang mendukung pandangan peneliti maupun yang tidak mendasarkan pninsip
selektifitas.
e. Hasilnya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikasi
pada pembaca.


Perhatian
Orientasi teoritik dan pemilihan pokok studi kasus dalam penelitian kualitatif bukanlah perkara yang mudah, tetapi tanpa memperdulikan kedua hal tersebut akan cukup menyulitkan bagi peneliti yang akan turun ke lapangan. Dengan memahami orientasi teoritik dan jenis studi yang akan dipilih maka setidak-tidaknya seorang peneliti telah akan mempersiapkan diri sebelum benan-benar terjun dalam kancah penelitian. Di dalam penyusunan desain penelitian kedua hal tersebut hendaknya sudah dapat ditentukan, meskipun masih bersifat sementana.
Untuk dapat mengatasi kesulitan dalam menentukan orientasi teoritik pemilihan pokok studi, terutarna dalam studi kasus, Guba dan Lincoln (1987) memberikan saran-saran sebagai berikut: Pertama, bagi peneliti pemula hendaknya banyak membaca sebanyak mungkin laporan-laporan kasus yang ada sehingga mereka dapat mempelajari bagaimana para peneliti menyusunnya. Kedua, mereka hendaknya bergabung dengan para penulis kasus yang baik untuk memahami bagaimana mereka bekerja. Ketiga, mereka harus berlatih menulis laporan kasus, dan terakhir, mereka harus meminta kritik-kritik yang positif dan para ahli.


Pengertian Penelitian Studi Kasus

Selama sekitar lima belas tahun lebih, tepatnya sejak tahun 1993, seiring dengan semakin populernya penelitian studi kasus, banyak pengertian penelitian studi kasus telah dikemukakan oleh para pakar tentang penelitian studi kasus (Creswell, 1998). Secara umum, pengertian-pengertian tersebut mengarah pada pernyataan bahwa, sesuai dengan namanya, penelitian studi kasus adalah penelitian yang menempatkan sesuatu atau obyek yang diteliti sebagai ‘kasus’. Tetapi, pandangan tentang batasan obyek yang dapat disebut sebagai ‘kasus’ itu sendiri masih terus diperdebatkan hingga sekarang. Perdebatan ini menyebabkan perbedaan pengertian di antara para ahli tersebut.

Perdebatan tersebut mengarah pada munculnya 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian terhadap suatu obyek penelitian yang disebut sebagai ‘kasus’. Kelompok ini menekankan bahwa penelitian studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan terhadap obyek atau sesuatu yang harus diteliti secara menyeluruh, utuh dan mendalam. Dengan kata lain, kasus yang diteliti harus dipandang sebagai obyek yang berbeda dengan obyek penelitian pada umumnya. Sedangkan yang kedua memandang bahwa penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang dibutuhkan untuk meneliti atau mengungkapkan secara utuh dan menyeluruh terhadap ‘kasus’. Meskipun tampaknya hampir sama dengan kelompok yang pertama, kelompok ini berangkat dari adanya kebutuhan metoda untuk meneliti secara khusus tentang obyek atau ‘kasus’ yang menarik perhatian untuk diteliti.

Pengertian dari kelompok yang pertama ini berasal dari pengertian yang dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1985), lebih diperjelas oleh Stake (1994 dan 2005), kemudian dikembangkan oleh Creswell (1998, 2007) dan Dooley (2002), serta diikuti oleh Hancock dan Algozzine (2006), yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terhadap suatu ‘obyek’, yang disebut sebagai ‘kasus’, yang dilakukan secara seutuhnya, menyeluruh dan mendalam dengan menggunakan berbagai macam sumber data. Lebih khusus lagi, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis, tetapi sebuah pilihan untuk mencari kasus yang perlu diteiiti. Dengan kata lain, keberadaan suatu kasus merupakan penyebab diperlukannya penelitian studi kasus. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut ini:

A case study is an exploration of a ‘bounded system’ or a case (or multiple cases) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of information rich in context (Creswell, 1988, 61).

Case study research is a qualitative research approach in which the investigator explore a bounded system (a case) or multiple bonuded systems (cases) over time through detailed, indepth data collection involving multiple source information (e.g., observations, interviews, audiovisual material, and documents and reports), and reports a case description and case-based themes
(Creswell, 2007, 73).

Case study is not a methodological choice but a choice of what to be studied
(Stake, 2005, 443).

Menurut kelompok pengertian ini, pada penelitian kualitatif, terdapat obyek penelitian yang harus dipandang secara khusus, agar hasil penelitiannya mampu menggali substansi terperinci dan menyeluruh dibalik fakta. Obyek penelitian yang demikian, yang disebut sebagai ‘kasus’, harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dibatasi (bounded system) yang terikat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagai sistem tertutup, kasus terbentuk dari banyak bagian, komponen, atau unit yang saling berkaitan dan membentuk suatu fungsi tertentu (Stake, 2005). Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu metoda yang tepat untuk untuk dapat mengungkapkan mengapa dan bagaimana bagian, komponen, atau unit tersebut saling berkaitan untuk membentuk fungsi. Metoda tersebut harus mampu menggali fakta dari berbagai sumber data, menganalisis dan menginterpretasikannya untuk mengangkat substansi mendasar yang terdapat dibalik kasus yang diteliti. Metoda penelitian tersebut adalah metoda penelitian studi kasus.

Oleh karena itu, tidak semua obyek dapat diteliti dengan menggunakan penelitian studi kasus (Flyvbjerg 2006; Stake, 1995 dan 2005; Creswell, 1998). Menurut Creswell (1998), suatu obyek dapat diangkat sebagai kasus apabila obyek tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem yang dibatasi yang terikat dengan waktu dan tempat kejadian obyek. Mengacu pada kriteria tersebut, beberapa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus dalam penelitian studi kasus adalah kejadian atau peristiwa (event), situasi, proses, program, dan kegiatan (Stake, 1995; Creswell, 1998; Hancock dan Algozzine, 2006), seperti yang dijelaskan oleh Creswell (2002) berikut ini:

A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth understanding of a “case” or bounded system, which involves understanding an event, activity, process, or one or more individuals (Creswell, 2002, 61).

Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu: permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus, karena tidak dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus, sehingga hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang diteliti secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan kecermatan untuk mencantumkan kata ‘studi kasus’ pada judul suatu penelitian, khususnya penelitian kualitatif.


Sementara itu, kelompok pengertian yang
kedua berkembang berdasarkan pendapat Yin (1984; 2003a; 2009), yang secara khusus memandang dan menempatkan penelitian studi kasus sebagai sebuah metoda penelitian. Creswell menyebut metoda penelitian studi kasus sebagai salah satu strategi penelitian kualitatif (Creswell, 1998). Kebutuhan terhadap metoda penelitian studi kasus dikarenakan adanya keinginan dan tujuan peneliti untuk mengungkapkan secara terperinci dan menyeluruh terhadap obyek yang diteliti. Pada pengertian yang dikemukakanya, Yin (1984; 2003a; 2003b; 2009) tidak secara eksplisit menyebut obyek penelitian studi kasus sebagai kasus, tetapi ia menyebut ciri-ciri dari obyek tersebut, yang menggambarkan ciri-ciri suatu kasus. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

The case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 1984, 23; Yin, 2003a, 13).

Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data. Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin (2003a
; 2009) menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada umumnya. Tetapi jika penjelasan Yin (2003a) secara teoritis maupun dalam bentuk contoh-contoh praktisnya (Yin, 2003b) dipelajari lebih seksama, maka akan didapatkan beberapa kekhususan yang menyebabkan metoda penelitian ini memiliki perbedaan siginifikan dengan metoda penelitian kualitatif lainnya. Pada perkembangan penggunaanya, dibandingkan dengan kelompok yang pertama, kelompok ini lebih banyak diikuti, karena melalui buku-bukunya, Yin dianggap mampu menjelaskan secara terperinci kekhususan metoda penelitian studi kasus yang harus diikuti berikut dengan contoh-contoh terapannya (Meyer, 2001).
Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah pada tujuannya. Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ (Yin, 2003a
, 2009) terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan mendalam. Dengan kata lain, penelitian studi kasus tepat digunakan pada penelitian yang bersifat eksplanatori, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggali penjelasan kasualitas, atau sebab dan akibat yang terkandung di dalam obyek yang diteliti. Penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian eksploratori, yaitu penelitian yang berupaya menjawab pertanyaan ‘siapa’, ‘apa’, ‘dimana’, dan ‘seberapa banyak’, sebagaimana yang dilakukan pada metoda penelitian eksperimental (Yin, 2003a; 2009).
Kekhususan penelitian studi kasus yang lain adalah pada sifat obyek yang diteliti. Menurut Yin (2003a
; 2009), kasus di dalam penelitian studi kasus bersifat kontemporer, masih terkait dengan masa kini, baik yang sedang terjadi, maupun telah selesai tetapi masih memiliki dampak yang masih terasa pada saat dilakukannya penelitian. Oleh karena itu, penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian sejarah, atau fenomena yang telah berlangsung lama, termasuk kehidupan yang telah menjadi tradisi atau budaya. Sifat kasus yang demikian juga didukung oleh Creswell (1998) yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory dan phenomenologi yang cenderung berupaya meneliti teori-teori klasik, atau defintif, yang telah mapan (definitive theories) yang terkandung di dalam obyek yang diteliti.

Pendapat Yin (2003a
; 2003b; 2009) tersebut diatas didukung oleh Dooley, (2005), dan VanWynsberghe (2007) yang menyatakan bahwa kasus sebagai obyek penelitian dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurut mereka, penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang terdapat dibalik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru. Untuk lebih jelasnya, perhatikan pernyataan-pernyataan mereka berikut ini:

Case studies aim to give the reader a sense of “being there” by providing a highly detailed, contextualized analysis of an “an instance in action”. The researcher carefully delineates the “instance,” defining it in general terms and teasing out its particularities (VanWynsberghe, 2007, hal. 4).

The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called “falsification,” which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally and must therefore be either revised or rejected
(Flyvbjerg, 2006, 225).

Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a complex issue and can add strength to what is already known through previous research
(Dooley, 2005, 335).

The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations
(Dooley, 2005, 344).

Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus cenderung bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory, phenomenologi dan ethnografi yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori mapan atau definitif yang terkandung pada obyek yang diteliti (Meyer, 2001). Ketiga jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan di lapangan (firsthand data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang telah ada. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekedar bersifat memperbaiki, melengkapi atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan perubahan fakta terkini. Meskipun demikian, banyak hasil penelitian studi kasus yang berhasil mamatahkan teori yang ada dan menggantikannya dengan teori yang baru (Dooley, 2005).


Menurut Yin (2003a, 2009), posisi pemanfaatan teori yang telah ada di dalam penelitian studi kasus dimaksudkan untuk menentukan arah dan fokus penelitian. Yin (2003a, 2009) menyebut arahan yang dibangun pada awal proses penelitian tersebut sebagai ‘proposisi’. Meskipun tampaknya mirip, peran dan fungsi proposisi memiliki perbedaan yang signifikan dengan hipotesis pada penelitian kuantitatif. Jika hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, proposisi dibangun bukan untuk menetapkan jawaban sementara, tetapi merupakan arahan teoritis yang digunakan untuk membangun protokol penelitian. Protokol penelitian adalah petunjuk praktis pengumpulan data yang harus diikuti oleh peneliti agar penelitian terfokus pada konteksnya. Pada proses analisis data, proposisi kembali digunakan sebagai pijakan untuk mengetahui posisi hasil penelitian terhadap teori-teori yang ada. Dengan mengetahui posisi tersebut, dapat ditetapkan apakah hasil penelitiannya mendukung, memperbaiki, memperbaharui, atau bahkan mematahkan teori yang ada. Creswell (1998) menyebut penggunaan kajian teori pada proses awal penelitian yang demikian sebagai kajian before-end theory.

Sedikit berbeda dengan pendapat Yin diatas, Stake (1994 dan 2005) dan Creswell (1998) menyatakan bahwa teori dapat digunakan sebagai acuan di dalam proses analisis, setelah fakta terhadap kasus diperoleh. Kajian posisi fakta terhadap teori dilakukan pada bagian akhir (after-end theory) tersebut dilakukan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pada pengumpulan data dapat dilakukan lebih leluasa, tidak terlalu terikat pada arahan atau prinsip-prinsip tertentu.
Melalui pengumpulan data yang yang demikian, peneliti dapat menggali dan mengkaji nilai-nilai yang berada dibalik obyek yang ditelitinya secara lebih terperinci.

Seperti halnya Stake (1995
; 2005) dan Creswell (1998), Yin (2003a; 2009) berpendapat bahwa penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data untuk mengungkapkan fakta dibalik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data dimaksudkan untuk mencapai validitas dan realibilitas data, sehingga hasil penelitian dapat diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan bukti-bukti dari beberapa sumber data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi, wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur dan survey lapangan. Disamping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan terhadap proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga obyektivitas hasil penelitian dapat terjaga.

Seperti telah dijelaskan di depan, meskipun tampaknya berbeda, kedua kelompok pengertian tersebut pada dasarnya menuju pada satu pemahaman yang sama. Keduanya memberikan penjelasan yang tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama memulai penjelasan dari adanya obyek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis penelitian kualitatif
tertentu, dengan metoda penelitian yang khusus, yaitu metoda penelitian studi kasus. Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus sebagai salah satu jenis metoda penelitian kualitatif yang dibutuhkan untuk digunakan untuk meneliti suatu obyek yang layak disebut sebagai kasus. Kedua kelompok pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman yaitu menempatkan penelitian studi kasus sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif.

Selamat Datang Pada Penelitian Studi Kasus

Assalamualaikum wr.wb.

Jika diperhatikan dengan seksama, banyak jenis strategi penelitian kualitatif menempatkan posisi obyek penelitian sebagai ‘kasus’ seperti halnya di dalam penelitian studi kasus. Edwards (1998) mengkategorikan penelitian-penelitian yang demikian, termasuk penelitian studi kasus, sebagai penelitian berbasis kasus (case-based research). Penelitian berbasis kasus adalah penelitian kualitatif yang menggunakan kasus untuk menjelaskan suatu fenomena dan mengkaitkannya dengan teori tertentu. Istilah penelitian berbasis kasus mengemuka karena berkembangnya fakta bahwa penelitian kualitatif lebih menekankan kualitas dan kedalaman analisis terhadap obyek penelitian. Pada hampir di seluruh jenis penelitian kualitatif, obyek penelitian dikaji tidak dari sudut permukaan yang dangkal atau bagian per-bagian, tetapi dikaji secara menyeluruh dan terperinci. Menurut penelitian berbasis kasus, obyek penelitian yang dipandang secara demikian disebut sebagai ‘kasus’. Mengacu pada pemahaman ini, Edwards (1998) memasukkan hampir seluruh jenis penelitian kualitatif, termasuk penelitian grounded theory, ethnografi, phenomenologi, dan penelitian studi kasus ke dalam jenis penelitian berbasis kasus.

Hingga saat ini masih terus berlangsung perdebatan tentang posisi ‘kasus’ sebagai obyek penelitian dalam penelitian kualitatif pada umumnya dan khususnya pada penelitian studi kasus. Banyak peneliti yang memandang bahwa setiap obyek penelitian, khususnya obyek pada penelitian kualitatif adalah ‘kasus’, Konsekuensinya, semua penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus. Oleh karena itu, di dalam banyak laporan penelitian, khususnya penelitian kualitatif, kata-kata ‘studi kasus’ banyak dicantumkan sebagai bagian dari judul. Beberapa peneliti yang sekaligus juga penulis, seperti Stake (1994, 2005), Creswell (1998, 2007), dan Yin (1994, 2003a, 2003b, 2009) menolak anggapan demikian. Mereka berupaya menunjukkan perbedaan antara penelitian studi kasus dengan penelitian berbasis kasus. Mereka memandang bahwa penelitian studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian dalam penelitian kualitatif yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya dengan jenis strategi penelitian kualitatif yang lain, seperti penelitian ethnografi, phenomenologi, grounded theory, dan biografi (Creswell, 1998, 2007).

Secara khusus, pada tahun 1982, Yin memperkenalkan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian tersendiri, yang terpisah dan berbeda dari ragam penelitian kualitatif yang lain. Yin lebih memperjelas pendapatnya dengan menulis buku khusus yang secara terperinci menjelaskan argumen, kriteria dan proses penelitian studi kasus, yang telah diterbitkan hingga empat edisi yaitu pada tahun 1986, 1994, 2003, dan 2009. Pendapat Yin tersebut mendapatkan banyak tanggapan. Sebagian besar tidak menentangnya, tetapi cenderung mendukung dengan menambahkan argumen-argumen untuk lebih mempertegas kekhususan posisi, kedudukan, dan memperjelas arahan penggunaannya.

Selamat datang di blog tentang penelitian studi kasus. Blog ini sekedar mengungkapkan pemikiran saya tentang penelitian studi kasus. Selamat menikmati pemikiran-pemikiran saya itu. Insya Allah, saya terus menambahkan pemikiran-pemikiran saya tersebut, hingga suatu saat kelak bisa menjadi sebuah buku.


Pengertian Penelitian Kualitatif

Penelitian studi kasus yang dibahas pada blog ini adalah penelitian studi kasus kualitatif. Untuk lebih memahami lebih mendalam tentang penelitian studi kasus kualitatif tersebut, terlebih dahulu lebih baik memahami penelitian kualitatif. Berikut ini adalah bahasan tentang pengertian penelitian kualitatif tersebut.

Banyak buku teks dan jurnal metodologi penelitian telah mengupas secara mendalam pengertian penelitian kualitatif. Pada sub bagian ini, pembahasan pengertian penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh pengertian tersebut. Pembahasan lebih difokuskan pada beberapa konsep dasar yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan karakteristik penelitian kualitatif. Untuk lebih memperjelas posisi dan kekhususannya, beberapa bagian pembahasan dilakukan dengan memperbandingkannya dengan penelitian kuantitatif.
Penelitian kualitatif sering diposisikan berada pada sisi lain atau berkebalikan dengan penelitian kuantitatif.

Secara harfiah, sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss dan Corbin, 1990 dalam Hoepfl, 1997 dan Golafshani, 2003). Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell, 2002).

Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Lebih jelasnya, pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

A qualitative approach is one in which the inquirer often makes knowledge claims based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual experiences, meanings socially and historically constructed, with an intent of developing a theory or pattern) or advocacy/ participatory perspectives (i.e. political, issue-oriented, collaborative or change oriented) or both (Creswell, 2003, hal.18).
Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan wawancara pengalaman individu, dan sejarah.

Penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge, sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau ekstrapolasi atas obyek tersebut.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu alam, penelitian kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000).

Penelitian kualitatif bermaksud menggali makna perilaku yang berada dibalik tindakan manusia. Interpretasi makna terhadap perilaku ini tidak dapat digali melalui verifikasi teori sebagai generalisasi empirik, seperti yang dilakukan pada panelitian kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif bermaksud memahami obyeknya, tetapi tidak untuk membuat generalisasi melainkan membuat ekstrapolasi atas makna di balik obyeknya tersebut. Para peneliti kualitatif mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik obyek yang ditelitinya, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstrasi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh, seperti pernyataan David dan Sutton (2004) berikut ini:

The qualitative researcher is more interested in the fact that meanings come in packages, wholes, ways of life, belief system and so on. Attention to ‘meanings; in this sense is a reference to the ‘holistic’ fabic of interconnected meaning that form a way of life and wich cannot remain meaningful if they are extracted and broken down into separate units outside of their meaningful context (David dan Sutton, 2004, hal. 35).
Untuk mengkaji realita kehidupan secara menyeluruh, tidak dapat dilakukan hanya melalui pengalaman seseorang yang bersifat individual, tetapi harus melalui mempertimbangkan jalinan antar individu anggota kelompok masyarakat yang diteliti. Kehidupan itu sendiri terdiri dari unit-unit, baik individu maupun kelompok yang saling terkait dalam suatu jaringan yang saling mendukung dan melengkapi, sehingga tidak dapat hanya dipandang dari satu sisi saja. Pada dasarnya, untuk menggambarkan kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat dilakukan dengan memisahkan dan mereduksinya menjadi unit-unit yang saling terpisah, seperti yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Singkatnya, mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat lebih bermakna daripada melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam pernyataan berikut ini:

Qualitative research claims to describe lifeworlds ‘from the inside out’, from the point of view of the people who participate. By so doing it seeks to contribute to a better understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily routine (Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).
Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang mempunyai kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan oleh hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda dengan benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian ilmu alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia tidak sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara mekanistik yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk menelitinya.

Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa atau linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia (Lawson dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan ungkapan perasaan dan nilai-nilai manusia.

Manusia hidup adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik lisan maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada prinsipnya berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa kemampuan berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan hasilnya secara sistematis dan teratur.

Disamping itu, bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang menggunakannya. Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat mencerminkan konteks budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan bahasa merupakan satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa, penelitian kualitatif mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan secara lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak terbantahkan dan obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan perbedaan dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.

Sementara itu, meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian kualitatif dianggap menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya kaya akan detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul karena hasil penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian, sehingga memiliki perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat lain.

Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut pendekatan ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang sebenarnya, atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan menunjukkan hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang sebenarnya secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika pengamatan terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat diibaratkan seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara. Observasi penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat mengungkapkan fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam pemanfaatan nilai-nilai budaya dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.

Sebagian besar penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data penelitian kualitatif harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metoda penelitian kualitatif, seperti metoda penelitian ethnografi, mensyaratkan penelitinya terlibat langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton (2001) berikut ini:
Qualitative research uses a naturalistic approach that seeks to understand phenomena in context-specific settings, such as "real world setting [where] the researcher does not attempt to manipulate the phenomenon of interest" (Patton, 2001, hal. 39)
Oleh karena itu, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan disekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, diantaranya adalah pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan, perjalanan sejarah dan hasil pengamantan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih jelasnya, perhatikan dua pengertian komprehensif penelitian kualitatif, berikut ini:

Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set interpretive, material practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including filed notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to self. This means that qualitative researches study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them (Denzin and Lincoln, 2005, hal. 3).

Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals’ lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods, hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).

Untuk memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian kualitatif menggunakan berbagai metoda pengumpulan data, seperti wawancara individual, wawancara kelompok, penaelitian dokumen dan arsip, serta penelitian lapangan. Antara metoda satu dengan yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data yang diperoleh dari suatu metoda disalingsilangkan dengan data yang diperoleh melalui metoda yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel).

Untuk menjalankan tuntutan metoda yang demikian, penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian. Berbeda dengan penelitian kuantiatif yang menempatkan kuisener, rumus matematika dan statistik sebagai instrumen pengumpulan dan pengolahan data, penelitian kualitatif memposisikan manusia sebagai instrumen utama penelitian. Peneliti sebagai manusia berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan, analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realita yang berhasil digali dan ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subyektif, karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat di dalamnya (Golafshani, 2003).

Untuk menghindari temuan yang subyektif, penelitian kualitatif menggunakan bermacam sumber data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa sumber data yang dipergunakan diantaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan. Setiap sumber data tersebut disalingsilangkan agar data yang diperoleh dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kebutuhan (reliabel).

Untuk mencapai hal tersebut, metoda yang dipergunakan adalah metoda triangulasi, yaitu metoda yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Secara khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.

Berdasarkan pembahasan di depan, maka secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian kualitatif dapat disimpulkan sebagai berikut:

Secara ontologis
, penelitian kualitatif memandang realita terbentuk dari hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan berdasarkan sistem makna individu. Oleh karena itu, fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas dengan konteksnya. Hal ini perlu dilakukan karena tingkah laku sebagai fakta tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang bebas nilai dan bebas konteks. Subyek penelitian kualitatif adalah tingkah laku manusia sebagai individu yang menjadi anggota masyarakat. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu dengan kepribadiannya dan pada interaksi antara pendapat internal dan eksternal tingkah laku seseorang terhadap latar belakang kehidupan sosialnya. Para peneliti kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan yang terbentuk secara alami seiring dengan perjalanan sejarah, yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menemukan kebenaran dibalik keteraturan itu pada umumnya dan khususnya nilai-nilai yang melatarbelakanginya, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori atau aturan yang ada. Jadi, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk melakukan eksplorasi atas teori dari fakta di dunia nyata, bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Penelitian kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai landasan untuk melakukan verifikasi.

Secara epistemologis
, di dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen utama pengumpul data merupakan salah satu karakteristik utama penelitian kualitatif. Hanya dengan keterlibatan peneliti dalam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan. Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis dan ekstrapolasi. Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori, jadi bukan dalam bentuk frekuensi. Untuk mencapai hal tersebut, sarana berpikir yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi bahasa, yang ditempuh dengan cara merubah data ke dalam penjelasan-penjelasan yang bersifat formulatif. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu makna ke makna lainnya, kemudian dirumuskan suatu pernyataan teoritis.

Secara aksiologis
, konsep atau teori yang diperoleh dari proses penelitian kualitatif dapat dimanfaatkan untuk membangun kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan kepada nilai-nilai dasar kehidupan mereka sendiri. Nilai-nilai yang digali melalui interaksi antara peneliti dengan partisipannya dapat menghasilkan teori lokal dan spesifik yang dapat merepresentasikan kehidupan sosial, budaya dan tradisi, yang terkritalisasi melewati sejarah kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Pemanfaatan nilai-nilai spesifik tentu saja akan sangat sesuai dengan kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Apabila nilai-nilai yang bersifat lokal dan spesifik tersebut hendak digeneralisasikan dan dimanfaatkan pada lokasi atau kasus yang lain, harus melalui proses khusus yang disebut sebagai transferabilitas. Proses tranferabilitas biasanya dilakukan melalui serangkaian proses dialog teori yang memperbandingkan antara konsep atau teori yang ditemukan dengan teori yang ada dan telah diakui. Melalui proses tersebut, nilai-nilai yang bersifat lokal, spesifik dan kontekstual dapat di dkonfirmasikan terhadap teori-teori general sebagai upaya untuk memberikan ilustrasi kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan manfaatnya di dalam pembangunan kehidupan masyarakat secara umum.


Karakteristik Penelitian Studi Kasus

Dari pembahasan tentang pengertian penelitian studi kasus, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang meneliti fenomena kontemporer secara utuh dan menyeluruh pada kondisi yang sebenarnya, dengan menggunakan berbagai bentuk data kualitatif. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa, karakteristiuk penelitian studi kasus pada umumnya sama dengan karakteristik penelitian kualitatif pada umumnya. Seperti telah dijelaskan di depan, karakteristik penelitian kualitatif dilandasi oleh tujuan utamanya yaitu untuk menggali substansi mendasar di balik fakta yang terjadi di dunia. Secara khusus, penelitian studi kasus memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan jenis penelitian kualitatif yang lain. Kekhususan penelitian studi kasus adalah pada cara pandang penelitinya terhadap obyek yang diteliti. Dari cara pandang yang berbeda ini, menimbulkan kebutuhan metoda penelitian yang khusus, yang berbeda dengan jenis penelitian kualitatif yang lain.

Berdasarkan pendapat Yin (2003a, 2009); VanWynsberghe dan Khan (2007); dan Creswell (2003. 2007) secara lebih terperinci, karakteristik penelitian studi kasus dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Menempatkan obyek penelitian sebagai kasus.

Seperti telah dijelaskan di dalam pengertian penelitian studi kasus di depan, keunikan penelitian studi kasus adalah pada adanya cara pandang terhadap obyek penelitiannya sebagai ’kasus’. Bahkan, secara khusus, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah suatu pilihan metoda penelitian, tetapi bagaimana memilih kasus sebagai obyek atau target penelitian. Pernyataan ini menekankan bahwa peneliti studi kasus harus memahami bagaimana menempatkan obyek atau target penelitiannya sebagai kasus di dalam penelitiannya.

Kasus itu sendiri adalah sesuatu yang dipandang sebagai suatu sistem kesatuan yang menyeluruh, tetapi terbatasi oleh kerangka konteks tertentu (Creswell, 2007). Sebuah kasus adalah isu atau masalah yang harus dipelajari, yang akan mengungkapkan pemahaman mendalam tentang kasus tersebut, sebagai suatu kesatuan sistem yang dibatasi, yang melibatkan pemahaman sebuah peristiwa, aktivitas, proses, atau satu atau lebih individu. Melalui penelitian studi kasus, kasus yang diteliti dapat dijelaskan secara terperinci dan komprehensif, menyangkut tidak hanya penjelasan tentang karakteristiknya, tetapi juga bagaimana dan mengapa karakteristik dari kasus tersebut dapat terbentuk. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
We have indicated that a case is effectively a bounded system, which implies that the case is potentially subject to the principles of systems theory (Anaf dkk., 2007, 1311).

A case is, essentially, a research study with a sample of one. The “one n” sample is the particular event, situation, organization, or selection of individuals that is presented in written or other forms. It provides readers with a vehicle to discuss, analyze, and develop criteria and potential solutions for the problems presented in the case
(Naumes dan Naumes, 2006, 7).
A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth understanding of a “case” or bounded system, which involves understanding an event, activity, process, or one or more individuals (Creswell, 2002, 61).
Seperti telah dijelaskan pada bagian kajian pengertian di depan, maksud penelitian studi kasus adalah untuk menjelaskan dan mengungkapkan kasus secara keseluruhan dan komprehensif. Dengan demikian, kasus dapat didefinisikan secara praktis sebagai suatu fenomena yang harus diteliti dan diinterpretasikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan komprehensif pada setiap variabel informasi yang terdapat di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A case can be defined technically as a phenomenon for which we report and interpret only a single measure on any pertinent variable (Eckstein, 2002, 124).
Karena penelitian studi kasus menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang harus diteliti secara menyeluruh, kasus tidak dapat disamakan dengan contoh atau sampel yang mewakili suatu populasi, seperti yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Kasus mewakili dirinya sendiri secara keseluruhan pada lingkup yang dibatasi oleh kondisi tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Pembatasan dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti pembatasan lokasi, waktu, pelaku dan fokus substansi. Dalam hal ini, secara khusus, Yin (2009) menyatakan bahwa substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dipandang dan diposisikan sebagai unit analisis. Sebagai unit analisis, substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dilihat dan dikaji secara keseluruhan untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian. Di dalam banyak penelitian studi kasus, unit analisis penelitiannya adalah kasus itu sendiri. Misalnya, penelitian studi kasus tentang pembangunan jembatan di kawasan perbatasan, maka unit analisisnya adalah pembangunan jembatan tersebut. Tetapi banyak pula penelitian studi kasus, dengan unit analisis yang berbeda dengan kasusnya. Yin (2009) menyebut unit analisis yang demikian sebagai unit yang tertanam (embedded unit). Misalnya, penelitian studi kasus manajemen kawasan perbatasan daerah, unit analisisnya dapat bermacam-macam, seperti manajemen pemeliharaan dan operasional infrastruktur; manajemen fasilitas umum; dan manajemen kerjasama di kawasan perbatasan daerah.

Kasus atau unit analisis sebagai obyek penelitian dapat berupa berbagai ragam. Pada umumnya, kasus menyangkut kejadian dari kehidupan sehari-hari yang nyata. Kasus dapat berupa seseorang, sekelompok orang, kejadian, masalah, konflik, keputusan, program, pelaksanaan suatu proses, dan proses organisasi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:
Cases (sometimes referred to as case writing) and case study differ in manyways and resemble each other in otherways.We will look at them both individually. The case itself is an account of an activity, event, or problem. The case usually describes a series of events that reflect the activity or problem as it happened (Dooley, 2002, 337).

Of course, the ‘case’ also can be some event or entity other than a singe individual. Case studies have been done about decisions, programs, the implementation process, and organizational process
(Yin, 2009, 29).
Cases can be programs, events, persons, processes, institutions, social groups, and other contemporary phenomena (Hancock dan Algozzine, 2006, 15).

Cases are rather special. A case is a noun, a thing, an entity; it is seldom a verb, a participle, a functioning
(Stake, 2006, 1).
Meskipun tampaknya posisi kasus di dalam penelitian studi kasus telah cukup jelas, tetapi hingga saat ini, masih terjadi perdebatan tentang obyek yang dapat dikategorikan sebagai kasus (McCaslin dan Scott. 2003). Perdebatan terjadi karena belum disepakatinya cara atau teknik untuk membatasi obyek penelitian studi kasus agar dapat disebut sebagai kasus. Pada umumnya, untuk membatasi obyek penelitian sebagai kasus adalah dengan menggunakan batasan waktu dan ruang. Ruang lingkup penelitian suatu obyek dapat dibatasi dengan membatasinya dari awal terjadinya kasus, hingga berakhirnya kasus. Kasus juga dapat ditentukan dengan membatasi ruang kejadian atau tempat keberadaan yang terkait dengan kasus tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
At a minimum, a case is a phenomenon specific to time and space (Johansson, 2003, 4).
Meskipun demikian, banyak ahli yang menyatakan bahwa kasus juga dapat juga dibatasi dengan menggunakan berbagai cara dan metoda yang lain, misalnya dengan mengkaji jejak-jejak pengaruh yang disebabkan oleh keberadaan atau terjadinya kasus tersebut. Disamping itu, pembatasan tentang suatu obyek juga dapat dilihat dari pihak-pihak yang terlibat atau terkait dengan keberadaan atau terjadinya kasus tersebut.
Lebih jauh, karena memandang obyek penelitian sebagai kasus, penelitian studi kasus sering dipandang sebagai penelitian yang menggunakan jumlah obyek sedikit. VanWynsberghe dan Khan (2007) menyebutnya sebagai penelitian dengan small-N. Disebut jumlah N (n dengan huruf besar) yang kecil, karena meskipun memiliki jumlah kasus atau unit analisis hanya satu, tetapi mungkin saja untuk menjelaskan kasus tersebut membutuhkan banyak pihak yang dilibatkan sebagai informan di dalam proses penelitiannya.

2.
Memandang kasus sebagai fenomena yang bersifat kontemporer

Bersifat kontemporer, berarti kasus tersebut sedang atau telah selesai terjadi, tetapi masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan dengan fenomena yang biasa terjadi. Dengan kata lain, sebagai bounded system (sistem yang dibatasi), penelitian studi kasus dibatasi dan hanya difokuskan pada hal-hal yang berada dalam batas tersebut. Pembatasan dapat berupa waktu maupun ruang yang terkait dengan kasus tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
The case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 1984, 23; Yin, 2003a, 13).

At a minimum, a case is a phenomenon specific to time and space
(Johansson, 2003, 4).

Case studies provide a detailed description of a specific temporal and spatial boundary. Attending to place and time brings context to the structures and relationships that are of interest
(VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Kata kontemporer itu sendiri berasal dari kata co (bersama) dan tempo (waktu). Sehingga menegaskan bahwa sesuatu yang bersifat kontemporer adalah sesuatu yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontemporer merupakan kata sifat yang menunjukkan bahwa sesuatu ada pada waktu atau masa yang sama atau pada masa kini. Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kontemporer berarti bersifat ada pada suatu waktu atau masa tertentu.

Untuk menunjukkan sifat kontemporernya tersebut, berarti penjelasaan tentang keberadaan sesuatu tersebut harus dibatasi dalam kerangka waktu tertentu. Disamping dengan menggunakan waktu, pembatasan dapat dilakukan dengan menggunakan ruang lingkup kegiatan terjadinya phenomena tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kuti[an berikut ini:

A case is a factual description of events that happened at some point in the past (Naumes dan Naumes, 2006, 4).

Case study research is also good for contemporary events when the relevant
behaviour cannot be manipulated. Typically case study research uses a variety of evidence from different sources, such as documents, artefacts, interviews and observation, and this goes beyond the range of sources of evidence that might be available in historical study (Rowley, 2002, 17).
Lebih jauh, kontemporer sering dikaitkan dengan kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi sesuatu yang bersifat kontemporer adalah sesuatu yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu, tetapi berkembang sesuai pada masa sekarang. Sebagai contoh, seni kontemporer adalah karya seni yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui, yang tidak lagi terikat pada jaman dahulu, tetapi masih terikat dan berlaku pada masa sekarang. Lebih jauh, seni kontemporer itu sendiri sering dipandang sebagai seni yang melawan seni yang telah mentradisi, yang dikembangkan untuk membangkitkan wacana pemunculan indegenous art (seni pribumi), atau khasanah seni lokal para seniman.

Obyek penelitian yang berkebalikan dengan kasus sebagai fenomena kontemporer adalah obyek yang bersifat telah ada atau berlangsung sangat lama, sehingga sering dipandang telah menjadi suatu budaya atau tradisi. Obyek yang demikian diteliti dengan menggunakan strategi atau metoda penelitian kualitatif yang lain, seperti grounded theory, phenomenologi, biografi atau ethnografi. Seringkali, penelitian tentang obyek yang telah tua tersebut bertujuan untuk menggali nilai-nilai kehidupan yang berada dibalik kehidupan masyarakat.


3.
Dilakukan pada kondisi kehidupan sebenarnya

Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, pelaksanaan penelitian studi kasus menggunakan pendekatan penelitian naturalistik. Dengan kata lain, penelitian studi kasus menggunakan salah satu karakteristik pendekatan penelitian kualitatif, yaitu meneliti obyek pada kondisi yang terkait dengan kontekstualnya. Dengan kata lain, penelitian studi kasus meneliti kehidupan nyata, yang dipandang sebagai kasus. Kehidupan nyata itu sendiri adalah suatu kondisi kehidupan yang terdapat pada lingkungan hidup manusia baik sebagai individu maupun anggota kelompok yang sebenarnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
By the definition of the North American Case Research Association and many other groups of case writers, including the authors of this book, a case is a description of a real situation. Although the case may disguise some or most of the facts, the basic situation is neither changed nor invented (Naumes dan Naumes, 2006, 9).
Sebagai penelitian dengan obyek kehidupan nyata, penelitian studi kasus mengkaji semua hal yang terdapat disekeliling obyek yang diteliti, baik yang terkait langsung, tidak langsung maupun sama sakali tidak terkait dengan obyek yang diteliti. Penelitian studi kasus berupaya mengungkapkan dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek yang ditelitinya pada kondisi yang sebenarnya, baik kebaikannya, keburukannya, keberhasilannya, maupun kegagalannya secara apa adanya. Sifat yang demikian menyebabkan munculnya pandangan bahwa penelitian studi kasus sangat tepat untuk menjelaskan suatu kondisi alamiah yang kompleks. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A good case is generally taken from real life and includes the following components: setting, individuals involved, the events, the problems, and the conflicts. Because cases reflect real-life situations, cases must represent good and bad practices, failures as well as successes. Facts must not be changed to expose how the situation should have been handled (Dooley, 2002, 337).

Case study is uniquely suitable for research in complex settings because it advances the concept that complex settings cannot be reduced to single cause and effect relationships
(VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Berkebalikan dengan penelitian yang di lakukan pada kehidupan nyata, penelitian dapat dilakukan pada laboratorium. Pada umumnya, penelitian di laboratotium dilakukan dengan membangun kondisi buatan sedemikian rupa, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, misalnya untuk mengeskplorasi dan memperjelas variabel-variabel yang terkait atau tidak terkait dengan obyek penelitian. Penelitian yang menggunakan kondisi buatan ini disebut sebagai penelitian eksperimental. Pada umumnya, tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pengujian terhadap obyek penelitian terhadap kondisi tertentu yang dibangun sesuai dengan keinginan penelitinya. Penggunaan penelitian di laboratorium juga diakukan apabila penelitian yang diinginkan tidak dapat dilakukan pada kondisi alamiahnya. Untuk itu, pada banyak penelitian eksperimental, kondisi buatan tersebut dibuat sedemikian rupa dan diusahakan menyerupai kondisi alam yang sebenarnya.

Penelitian eksperimental yang demikian secara umum tidak sesuai dengan kriteria penelitian studi kasus (Yin, 2009). Meskipun kondisi buatan di laboratorium dibuat mendekati kondisi alamiahnya, kondisi alamiah yang sebenarnya merupakan kondisi yang tepat dan terbaik bagi penelitian studi kasus pada khususnya, dan penelitian kualitatif pada umumnya, karena pada dasarnya penelitian tersebut bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan obyek penelitian sesuai apa adanya di kondisi yang alamiah.

4.
Menggunakan berbagai sumber data

Seperti halnya strategi dan metoda penelitian kualitatif yang lain, penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data. Seperti telah dijelaskan di dalam bagian karakteristik penelitian kualitatif di depan, pengggunaan berbagai sumber data dimaksudkan untuk mendapatkan data yang terperinci dan komprehensif yang menyangkut obyek yang diteliti. Disamping itu, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mencapai validitas dan realibilitas penelitian. Dengan adanya berbagai sumber data tersebut, peneliti dapat meyakinkan kebenaran dan keakuratan data yang diperolehnya dengan mengecek saling-silangkan antar data yang diperoleh. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Due to the nature of case study research, the researcher will generate large amounts of data from multiple sources. Time taken to plan prior to the research will allow one to organize multiple databases and set categories for sorting and managing the data (Dooley, 2002, 341).
Adapun bentuk-bentuk data tersebut dapat berupa catatan hasil wawancara, pengamatan lapangan, pengamatan artefak dan dokumen. Catatan wawancara merupakan hasil yang diperoleh dari proses wawancara, baik berupa wawancara mendalam terhadap satu orang informan maupun terhadap kelompok orang dalam suatu diskusi. Sedangkan catatan lapangan dan artefak merupakan hasil dari pengamatan atau obervasi lapangan. Catatan dokumen merupakan hasil pengumpulan berbagai dokumen yang berupa berbagai bentuk data sekunder, seperti buku laporan, dokumentasi foto dan video.

5.
Menggunakan teori sebagai acuan penelitian

Karakteristik penelitian studi kasus yang relatif berbeda dibandingkan dengan strategi atau metoda penelitian studi kasus yang lain adalah penggunaan teori sebagai acuan penelitian. Berdasarkan pemikiran induktif yang bermaksud untuk membangun pengetahuan-pengetahuan baru yang orisinil, penelitian kualitatif selalu dikonotasikan sebagai penelitian yang menolak penggunaan teori sebagai acuan penelitian. Penggunaan teori sebagai acuan dianggap dapat mengurangi orisinalitas temuan dari penelitian kualitatif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Case study routinely uses multiple sources of data. This practice develops converging lines of inquiry, which facilitates triangulation and offers findings that are likely to be much more convincing and accurate (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Pada penelitian studi kasus, teori digunakan baik untuk menentukan arah, konteks, maupun posisi hasil penelitian. Kajian teori dapat dilakukan di bagian depan, tengah dan belakang proses penelitian. Pada bagian depan, teori digunakan untuk membangun arahan dan pedoman di dalam menjalankan kegiatan penelitian. Secara khusus, pada bagian ini, teori dapat dipergunakan untuk membangun hipotesis, seperti halnya yang dilakukan pada paradigma deduktif atau positivistik (VanWynsberghe dan Khan, 2007; Eckstein, 2002; Lincoln dan Guba, 2000). Pada bagian tengah, teori dipergunakan untuk menentukan posisi temuan-temuan penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang (Creswell, 2003, 2007). Sedangkan pada bagian belakang, teori dipergunakan untuk menentukan posisi hasil keseluruhan penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang (Creswell, 2003, 2007).

Melalui pemanfaatan teori tersebut, peneliti studi kasus dapat membangun teori yang langsung terkait dengan kondisi kasus yang ditelitinya. Kesimpulan konseptual dan teoritis yang dibangun melalui penelitian studi kasus dapat lebih bersifat alamiah, karena sifat dari kasus yang alamiah seperti apa adanya tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kuti[pan berikut ini:
Researchers can generate working hypotheses and learn new lessons based on what is uncovered or constructed during data collection and analysis in the case study. The entity or phenomenon under study emerges throughout the course of the study, and it is this surfacing that can bring the study to a natural conclusion (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).

Paradigma Penelitian pada Penelitian Studi Kasus

Untuk memperjelas posisinya di dalam dunia penelitian ilmiah, peneliti yang menggunakan metoda penelitian studi kasus harus mengetahui dan memahami paradigma yang memayungi metoda yang dipergunakannya tersebut. Dengan memahami posisinya tersebut, peneliti dapat menempatkan penelitiannya dan pemikiran-pemikirannya pada posisi yang tepat dan memiliki alasan-alasan atas setiap pertanyaan yang berkaitan dengan posisinya tersebut. Bagian ini adalah kajian tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan pemikiran metoda penelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma penelitian yang digunakan adalah pada 2 (dua) paradigma penelitian besar, seperti yang telah dijelaskan pada bagian penelitian kualitatif di depan, yaitu: 1) paradigma positivitistik, 2) paradigma non-positistivistik atau postpositivistik. Lebih jauh, di dalam uraian yang telah dijelaskan di depan, paradigma postpositivistik dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu paradigma interpretif atau konstruktivistik, dan teori kritis.
Jika dilihat dari karakteristik utamanya yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus berdasarkan pada paradigma penelitian postpositivistik. Pada dasarnya, paradigma postpositivistik memandang bahwa penelitian merupakan upaya untuk membangun pengetahuan langsung pada sumbernya. Oleh karena itu, peneliti pengikut paradigma ini memulai pemikirannya selalu berdasarkan dari bukti, fakta atau data sebagai awalan untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan. Ciri utama paradigma ini adalah memandang bukti, fakta atau data sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, yang memiliki latar belakang atau makna tertentu yang sangat kontekstual dengan lingkungannya. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian bersifat orisinil. Dalam penerapan praktisnya, para peneliti penganut paradigma ini berupaya menghindari penggunaan teori, karena teori dipandang dapat membelenggu upaya untuk mengeksplorasi orisinalitas dari hasil penelitian.
Pada umumnya, penelitian yang berdasarkan paradigma postpositivistik bersifat induktif. Data yang diperoleh merupakan data yang otentik dan aktual, tidak dipengaruhi oleh grand theories. Ungkapan dan penjelasan yang disampaikan oleh informan atau partisipan yang dilibatkan di dalam penelitian merupakan wujud ekspresi yang keluar dari pengalaman dan persepsi mereka terhadap konteks yang diteliti. Konsekuensinya, berbeda dengan penelitian positivistik yang terikat dengan grand theories, temuan-temuan penelitian berbasis paradigma postpositivistik ini bersifat spesifik, sangat sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kajian penafsiran data, termasuk penarikan kesimpulan dalam penelitian interpretif bersifat idiografik, yaitu dalam arti keberlakuannya bersifat lokal dan khusus, yang muncul dari informasi-informasi yang diperoleh secara otentik dan aktual.
Tetapi pada berbagai uraian yang dijelaskan oleh para ahli, seperti yang dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009), Creswell (2007), VanWynsberghe dan Khan (2007), Eckstein (2002), dan Lincoln dan Guba (2000), penelitian studi kasus dapat menggunakan teori. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian studi kasus juga bersifat positivistik. Penggunaan teori merupakan salah satu ciri penelitian yang menggunakan paradigma positivistik. Paradigma positivistik itu sendiri memandang bahwa realita ada, terkait dan dikendalikan oleh hukum alam, dan terpisah dari diri manusia. Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk-bentuk interpretasi manusia ke dalam fakta, karena dapat menghilangkan kemurnian realita yang terkandung di dalam fakta. Peneliti berperan hanya untuk mengungkapkan realita tersebut senyatanya, dan tidak diperkenankan menginterpretasikannya menurut kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, penelitian ini harus bersifat bebas dari campur tangan penelitinya, sehingga hasilnya bersifat obyektif dan bebas nilai. Karena mengungkapkan realita dari hukum-hukum alam, analisis dalam penelitian positivistik selalu mengkaitkan dengan hukum-hukum alam yang direpresentasikan dalam wujud grand theories. Mengingat bahwa realita atau kebenaran terikat dengan hukum alam, penelitian dilakukan untuk menggalinya berdasarkan teori atau kebenaran yang telah diakui dan mapan. Teori-teori tersebut dipergunakan untuk membangun prediksi konsep atau teori tentang kebenaran yang diverifikasi atau diuji teori melalui penelitian. Dalam prakteknya, prediksi tersebut berupa hipotesis yang dibangun dari teori, dan diuji melalui serangkaian instrumen penelitian yang terstruktur.
Berdasarkan karakteristiknya yang demikian, secara khusus, VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa posisi penelitian studi kasus adalah unik, ia tidak sekedar metoda penelitian, rancangan penelitian atau metodologi. Mereka lalu menempatkan posisi dan peran penelitian studi kasus sebagai transparadigmatik heuristik dan transdisipliner yang berupaya menggambarkan secara detail dan terperinci terhadap bukti-bukti fenomena yang telah dikumpulkan, dalam berbagai bentuknya, seperti seperti peristiwa, konsep, program, dan proses. Hal ini tampaknya sesuai dengan pendapat Stake (2005) yang menyatakan bahwa keunikan penelitian studi kasus adalah bukan pada metoda atau perancangan penelitiannya, tetapi justru pada pemilihan kasus yang ditetapkan sebagai obyek penelitian. Karakteristik kasus inilah yang menentukan di dalam penentuan strategi, metoda dan rancangan penelitiannya.
Menurut VanWynsberghe dan Khan (2007), posisi penelitian studi kasus disebut transparadigmatik, karena relevan terhadap semua paradigma penelitian dan bahkan dapat terlepas dari paradigma penelitian seseorang, baik positivistik maupun postpositivistik, yang terdiri dari teori kritis maupun konstruktivistik atau interpretif. Transparadigmatik itu sendiri menggambarkan adanya cara pandang lintas paradigma. Cara pandang ini muncul karena adanya keinginan untuk tidak terikat kepada salah satu paradigma, tetapi lebih menekankan pada substansi, obyek atau target yang hendak dikaji. Dengan cara yang demikian, kajian dapat dilakukan dengan lebih leluasa, menyesuaikan dengan karakteristik sunstansi, obyek atau targetnya tersebut, serta kemampuan, pengalaman dan pengetahuan pengkaji atau penelitinya. Dalam kondisi tertentu, penggunaan transparadigmatik juga dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan paradigma campuran dari paradigma yang ada, dan bahkan paradigma yang sama sekali baru.
Sementara itu, penelitian studi kasus dapat disebut bersifat transdisipliner, karena penelitian studi kasus tidak memiliki orientasi pada disiplin tertentu secara khusus, sehingga dapat digunakan berbagai disiplin, seperti ilmu sosial, ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, bisnis, seni rupa, dan penelitian humaniora. Karakteristik yang demikian juga menggambarkan bahwa penelitian studi kasus lebih menekankan pada ‘kasus’ sebagai obyek penelitian (Stake, 2005), dan tidak terikat pada disiplin ilmu yang menaungi penelitian. Dengan kata lain, suatu ‘kasus’ dapat diteliti dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu. Untuk lebih jelasnya, perhatikan pernyataan mereka berikut ini:
We also propose a more precise and encompassing definition that reconciles various definitions of case study research: case study is a transparadigmatic and transdisciplinary heuristic that involves the careful delineation of the phenomena for which evidence is being collected (event, concept, program, process, etc.). By transparadigmatic, we mean that case study is relevant regardless of one’s research paradigm (i.e., postpositivism, critical theory, constructivism). By transdisciplinary, we are suggesting that case study has no particular disciplinary orientation; that is, it can be used in social science, science, applied science, business, fine arts, and humanities research, for example (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 1).
Pendapat VanWynsberghe dan Khan (2007) tersebut berdasarkan kenyataan munculnya perdebatan tentang karakteristik dan posisi penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh para ahli, terutama tentang adanya 5 (lima) kesalahpahaman tentang penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Flyvbjerg (2001) yang telah menjadi mitos di dalam penelitian studi kasus. Berdasarkan kajian mereka atas artikel Flyvbjerg tersebut, VanWynsberghe dan Khan meyakini bahwa posisi penelitian studi kasus adalah unik, tidak sekedar metoda penelitian, rancangan penelitian atau metodologi.
Penelitian studi kasus dapat dilakukan dalam paradigma positivistik (VanWynsberghe dan Khan, 2007). Dalam paradigma ini, peneliti menemukan dan meneliti kasus-kasus, serta dapat menghasilkan dan menguji hipotesis tentang dunia nyata yang mereka teliti. Hipotesis tersebut dibangun dengan menggunakan logika deduktif. Teori dan pengetahuan yang telah berkembang sebelumnya dikaji oleh peneliti untuk membangun dan mengembangkan pengetahuannnya sendiri tentang substansi penelitiannya. Pengetahuannya tersebut dipergunakannya sebagai landasan untuk menetapkan hipotesis. Hipotesis ini kemudian diuji dengan menggunakan bukti empiris dari data-data hasil pengumpulan datanya di lapangan.
Secara khusus, di dalam banyak penelitian studi kasus, teori dibutuh untuk membangun dan mengembangkan proposisi penelitian. Proposisi penelitian bersifat seperti hipotesis, tetapi lebih bersifat komprehensif karena tidak hanya merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, tetapi juga konsep diskripsi kasus yang diteliti secara menyeluruh berdasarkan pengetahuan atau teori yang ada. Dalam hal ini, teori untuk membangun proposisi di dalam penelitian studi kasus dibutuhkan apabila peneliti memandang ‘kasus’ yang ditelitinya memiliki posisi yang penting di dalam pengembangan pengetahuan atau teori yang telah ada. Dengan kata lain, kebenaran yang terkandung di dalam ‘kasus’ tersebut dapat mempengaruhi kebenaran yang ada di dalam teori-teori yang telah diakui kebenarannya.
Penelitian studi kasus juga dapat dilakukan dalam paradigma interpretif (VanWynsberghe dan Khan, 2007). Paradigma interpretif merupakan paradigma yang memandang bahwa kebenaran, realitas atau kehidupan nyata tidak memiliki satu sisi, tetapi dapat memiliki banyak sisi, sehingga dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Paradigma ini menolak adanya anggapan bahwa kebenaran atau pengetahuan yang telah ada harus selalu diverifikasi, sehingga kelak suatu kebenaran yang tunggal dapat tercapai dan terbangun. Paradigma ini memandang bahwa realita dunia ini terdiri dari banyak kebenaran yang saling terkait. Untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran tersebut dan keterkaitannya, manusia harus memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan atau menafsirkan setiap fenomena yang dapat ditangkap oleh inderawinya.
Penelitian studi kasus menggunakan paradigma interpretif apabila penelitinya memandang obyek yang ditelitinya memiliki keunikan tersendiri dan mengandung kebenaran yang orisinil, sehingga memposisikannya sebagai kasus yang ditelitinya sebagai ‘kasus’. Keunikan tersebut seringkali muncul karena keterikatan obyek tersebut terhadap konteks lingkungannya, seperti terhadap ruang dan waktu terjadinya kasus tersebut, sehingga dipandang tidak atau jarang terjadi dan terdapat di tempat dan waktu yang lain. Hal ini menyebabkan metoda yang dipergunakan di dalam penelitian studi kasus yang demikian, pada umumnya bersifat alamiah, karena sangat terikat pada konteks yang sebenarnya. Akibatnya, kebenaran atau pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian yang demikian pada umumnya bersifat lokalitas dan kontekstual.
VanWynsberghe dan Khan (2007) juga memandang bahwa penelitian studi kasus juga dapat dipergunakan pada penelitian yang menggunakan paradigma teori krisis. Seperti telah dijelaskan di depan, paradigma ini memandang bahwa teori-teori yang mengandung kebenaran-kebenaran tersebut tidak selamanya mutlak benar, karena pada kenyataan praktisnya, kebenaran-kebenaran tersebut berbeda dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, mereka selalu memandang bahwa teori-teori yang dibangun oleh para pakar harus selalu sesuai kenyataan yang sebenarnya, sehingga dapat selalu bermanfaat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka selalu berupaya mengkaji kesesuaian antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dari teori-teori yang ada. Oleh karena itu, para penganut teori kritis menganggap perlunya selalu mengkritisi grand theories yang telah diakui kebenarannya, agar teori-teori tersebut selalu dapat sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga dapat selalu memberikan manfaat di dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial manusia.
Peneliti studi kasus yang menggunakan paradigma teori kritis menempatkan kasus, baik tunggal maupun jamak, yang ditelitinya sebagai fakta yang dapat membuktikan adanya ketidaksesuaian antara kebenaran yang dianut selama ini dengan kehidupan nyata yang sebenarnya. Kebenaran-kebenaran yang berhasil digali dari kasus yang diteliti dipergunakan untuk mengkritisi kebenaran-kebanaran yang terkandung pada teori-teori yang selama ini diakui kebenarannya. Untuk melakukan penelitian yang demikian, peneliti harus memiliki kemampuan untuk mengkonstruksikan karakteristik dari kasus yang ditelitinya menjadi konsep atau teori yang dapat menunjukkan adanya ketidaksesuaian, kelemahan atau bahkan ketidakakuratan dari teori yang selama ini diakui kebenarannya.
Jika dilihat dari kesejarahan perkembangan munculnya penelitian studi kasus, Johansson (2003) melalui artikel yang diterbitkan melalui websitenya, menyatakan bahwa paradigma penelitian yang menaungi penelitian studi kasus pada era perkembangan yang pertama adalah paradigma hermeunitik (hermeunitics). Paradigma hermenitik menekankan pada upaya manusia untuk mengiterpretasikan segala sesuatu yang ada di dunia dengan kemampuannya sendiri. Akar kata ‘hermeneutik’ dalam Bahasa Yunani dalah ‘hermeneuein’, yang berarti menafsirkan, yang dalam bentuk kata bendanya ‘hermeneid’ yang berarti tafsir, penafsiran atau interpretasi. Dalam perwujudan praktisnya, metoda hermeneutik adalah cara-cara untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk lainnya. Oleh karena itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa paradigma hermeunitik adalah ragam lagi dari penamaan untuk paradigma postpositivistik, konstruktivistik atau interpretif. Melalui paradigma hermeunitik, generasi perkembangan pertama metoda penelitian studi kasus terwujud pada penelitian antropologis atau penelitian lapangan.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada perkembangan generasi kedua, pada era tahun 1990-an, 2000-an, hingga sekarang, penelitian studi kasus terbagi menjadi 2 (dua) aliran dengan paradigma yang berbeda. Aliran pertama adalah penelitian studi kasus yang tetap berdasarkan pada paradigma hermeunitik atau postpositivistik, yang didorong oleh pendapat Stake, Patton dan Flyvbjerg. Jika dikembangkan lagi, termasuk diikuti oleh Creswell dan Dooley. Sedangkan aliran yang kedua adalah penelitian studi kasus yang dikembangkan dengan menggunakan paradigma positivistik, yang dikembangkan oleh Yin. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan gambar berikut ini:
Gambar: Sejarah Perkembangan Penelitian Studi Kasus


Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus

Beberapa pakar mengemukakan jenis-jenis penelitian studi kasus dalam penjelasan yang berbeda-beda. Perbedaan penentuan jenis tersebut disebabkan oleh cara pandang masing-masing pakar terhadap posisi dan kedudukan kasus di dalam penelitian. Meskipun demikian, secara umum, terdapat pandangan yang sama di antara mereka, yaitu memposisikan dan memperlakukan obyek penelitian sebagai kasus.
Stake (2005) membagi penelitian studi kasus berdasarkan karakteristik dan fungsi kasus di dalam penelitian. Stake sangat yakin bahwa kasus bukanlah sekedar obyek biasa, tetapi kasus diteliti karena karakteristiknya yang khas. Hal ini sesuai dengan penjelasannya yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sekedar metoda penelitian, tetapi adalah tentang bagaimana memilih kasus yang tepat untuk diteliti. Berdasarkan hal tersebut, Stake (2005) membagi penelitian studi kasus menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian studi kasus yang dilakukan dengan maksud untuk yang pertama kali dan terakhir kali meneliti tentang suatu kasus yang khusus. Hal ini dilakukan tidak dengan maksud untuk menempatkan kasus tersebut mewakili dari kasus lain, tetapi lebih kepada kekhususan dan keunikannya. Pada awalnya, penelitianya mungkin tidak bermaksud untuk membangun teori dari penelitiannya, tetapi kelak mungkin ia akan dapat membangun teori apabila kasus tersebut memang menjadi satu-satunya di dunia. Pada umumnya, para peneliti studi kasus mendalam ini bermaksud untuk meneliti atau menggali hal-hal yang mendasar yang berada dibalik kasus tersebut. Kata intrinsic itu sendiri, menurut Kamus Merriam-Webster adalah sebagai berikut:
1 a : belonging to the essential nature or constitution of a thing *the intrinsic worth of a gem* *the intrinsic brightness of a star* b : being or relating to a semiconductor in which the concentration of charge carriers is characteristic of the material itself instead of the content of any impurities it contains
2 a : originating or due to causes within a body, organ, or part *an intrinsic metabolic disease* b : originating and included wholly within an organ or part *intrinsic muscles*
Pengertian tentang intrinsic di atas menunjukkan bahwa penelitian studi kasus mendalam bermaksud menggali hal yang mendasar (esensi) yang menyebabkan terjadinya atau keberadaan dari suatu kasus.
2. Penelitian studi kasus intrumental
Penelitian studi kasus intrumental (instrumental case study) adalah penelitian studi kasus yang dilakukan dengan meneliti kasus untuk memberikan pemahaman mendalam atau menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dengan kata lain, kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen) untuk menunjukkan penjelasan yang mendalam dan pemahaman tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan. Melalui kasus yang ditelitinya, peneliti bermaksud untuk menunjukkan adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus tersebut, yang berbeda dari penjelasan yang diperoleh dari obyek-obyek lainnya.
3. Penelitian studi kasus jamak
Penelitian studi kasus jamak (collective or mutiple case study) adalah penelitian studi kasus yang menggunakan jumlah kasus yang banyak. Penelitian studi kasus ini adalah pengembangan dari penelitian studi kasus instrmental, dengan menggunakan kasus yang banyak. Asumsi dari penggunaan kasus yang banyak adalah bahwa kasus-kasus yang digunakan di dalam penelitian studi kasus jamak mungkin secara individual tidak dapat menggambarkan karakteristik umumnya. Masing-masing kasus mungkin menunjukkan sesuatu yang sama atau berbeda-beda. Tetapi apabila dikaji secara bersama-sama atau secara kolektif, dapat menjelaskan adanya benang merah di antara mereka, untuk menjelaskan karakteristik umumnya.
Kasus-kasus di dalam penelitian studi kasus jamak dipilih karena dipandang bahwa dengan memahami mereka secara kolektif, dapat meningkatkan pemahaman terhadap sesuatu, dan bahkan dapat memperbaiki suatu teori dengan menunjukkan fakta dan bukti yang lebih banyak. Stake (2005) menunjukkan contoh-contoh penelitian studi kasus kolektif adalah dengan menunjuk pada buku-buku kumpulan dari artikel-artikel yang membahas suatu isu yang sama. Di dalam buku tersebut, editornya harus mampu menunjukkan benang merah dari masing-masing artikel, sehingga pembacanya akan mendapatkan pemahaman menyeluruh yang mendalam tentang isu tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan pada masing-masing artikel.
Sementara itu, Creswell (2007) menyatakan bahwa jenis-jenis penelitian studi kasus ditentukan berdasarkan batasan dari kasus, seperti seorang individu, beberapa individu, sekelompok, sebuah program atau sebuah kegiatan. Disamping itu, jenis-jenis tersebut dapat ditentukan berdasarkan penentuan maksud dari analisis kasusnya. Penjelasan Creswell tentang jenis-jenis penelitian studi kasus secara umum mirip dengan Stake (2005), karena memang berpedoman kepada penjelasan Stake. Berdasarkan maksud analisis kasusnya tersebut, Creswell (2007), membagi penelitian studi kasus dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Penelitian studi kasus intrumental tunggal
Penelitian studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk menggambarkan suatu isu atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk menggambarkannya secara terperinci.
2. Penelitian studi kasus jamak
Penelitian studi kasus jamak (collective or multiple case study) adalah penelitian studi kasus yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus di dalam satu penelitian. Penelitian ini dapat terfokus pada hanya satu isu atau perhatian dan memenfaatkan banyak kasus untuk menjelaskannya. Disamping itu, penelitian ini juga dapat hanya menggunakan satu kasus (lokasi), tetapi dengan banyak isu atau perhatian yang diteliti. Pada akhirnya, penelitian ini juga dapat bersifat sangat kompleks, karena terfokus pada banyak isu atau perhatian dan menggunakan banyak kasus untuk menjelaskannya. Yin (2003a, 2009) mengatakan bahwa untuk melakukan penelitian studi kasus jamak ini, dapat menggunakan penelitian replikasi yang logis, yaitu dengan menggunakan suatu prosedur yang sama yang diberlakukan untuk setiap isu atau kasus. Peneliti kemudian melakukan generalisasi pada setiap isu atau kasus dan memperbandingkannya pada akhir kajian.
3. Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan dan keunikan yang tinggi. Fokus penelitian ini adalah pada kasus itu sendiri, baik sebagai lokasi, program, kejadian atau kegiatan. Penelitian studi kasus mendalam ini mirip dengan penelitian naratif yang telah dijelaskan di depan, tetapi memiliki prosedur kajian yang lebih terperinci kepada kasus dan kaitannya dengan lingkungan disekitarnya secara terintegrasi dan apa adanya. Lebih khusus lagi, penelitian studi kasus mendalam merupakan penelitian yang sangat terikat pada konteksnya, atau dengan kata lain sangat terikat pada lokusnya (site-case).
Pendapat Stake (2005) dan Creswell (2007) di atas jika digambarkan secara diagramatis, dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut juga dillustrasikan dengan contoh judul-judul yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis. Contoh penelitian studi kasus mendalam yang diberikan dengan judul ‘Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta’, menunjukan adanya keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya. Sementara itu, contoh untuk penelitian studi kasus instrumental tunggal yang berjudul ‘Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Malioboro’, dan contoh jamaknya adalah ‘Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Gejayan dan Malioboro’, menunjukkan adanya penggunaan istilah ‘studi kasus’. Penggunaan istilah tersebut secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:
Gambar: Diagram Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Stake (2005) dan Creswell (2007) (Sumber: Ilustrasi penulis atas penjelasan Stake (2005) dan Creswell (2007)
Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi penelitian studi kasus secara umum menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penelitian studi kasus dengan menggunakan kasus tunggal dan jamak/ banyak. Disamping itu, ia juga mengelompokkannya berdasarkan jumlah unit analisisnya, yaitu penelitian studi kasus holistik (holistic) yang menggunakan satu unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang menggunakan beberapa atau banyak unit analisis. Penelitian studi kasus disebut terpancang (embedded), karena terikat (terpancang) pada unit-unit analisisnya yang telah ditentukan. Unit analisis itu sendiri dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian pada maksud dan tujuannya. Penentuan unit analisis ditentukan melalui kajian teori. Sementara itu, pada penelitian studi kasus holistik, penelitian dilakukan lebih bebas dan terfokus pada kasus yang diteliti dan tidak terikat pada unit analisis, karena unit analisisnya menyatu dalam kasusnya itu sendiri.
Jika dikaitkan antara kedua cara pengelompokkan tersebut, maka jenis-jenis penelitian studi kasus dapat disusun ke alam suatu matriks 2 x 2. Dengan demikian, menurut Yin (2003a, 2009), penelitian studi kasus dapat terdiri dari 4 (empat) jenis. Untuk lebih jelasnya, hubungan antar kedua pengelompokkan tersebut, perhatikan gambar matriks jenis-jenis penelitian studi kasus berikut ini:
Gambar: Jenis-jenis Dasar Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 46)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat 4 (empat) jenis penelitian studi kasus, yaitu:
1. Penelitian studi kasus tunggal holistik (jenis 1 dan 2)
Penelitian studi kasus tunggal holistik (holistic single-case study) adalah penelitian yang menempatkan sebuah kasus sebagai fokus dari penelitian. Yin (2009) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) alasan untuk menggunakan hanya satu kasus di dalam penelitian studi kasus, yaitu:
a) Kasus yang dipilih mampu menjadi bukti dari teori yang telah dibangun dengan baik. Teori yang dibangun memiliki proposisi yang jelas, yang sesuai dengan kasus tunggal yang dipilih sehingga dapat dipergunakan untuk membuktikan kebenarannya.
b) Kasus yang dipilih merupakan kasus yang ekstrim atau unik. Kasus tersebut dapat berupa keadaan, kejadian, program atau kegiatan yang jarang terjadi, dan bahkan mungkin satu-satunya di dunia, sehingga layak untuk diteliti sebagai suatu kasus.
c) Kasus yang dipilih merupakan kasus tipikal atau perwakilan dari kasus lain yang sama. Pada dasarnya, terdapat banyak kasus yang sama dengan kasus yang dipilih, tetapi dengan maksud untuk lebih menghemat waktu dan biaya, penelitian dapat dilakukan hanya pada satu kasus saja, yang dipandang mampu menjadi representatif dari kasus lainnya.
d) Kasus dipilih karena merupakan kesempatan khusus bagi penelitinya. Kesempatan tersebut merupakan jalan yang memungkinkan peneliti untuk dapat meneliti kasus tersebut. Tanpa adanya kesempatan tersebut, peneliti mungkin tidak memiliki akses untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut.
e) Kasus dipilih karena bersifat longitudinal, yaitu terjadi dalam dua atau lebih pada waktu yang berlainan. Kasus yang demikian sagat tepat untuk penelitian yang dimaksudkan untuk membuktikan terjadinya perubahan pada suatu kasus akibat berjalannya waktu.
Sementara itu, perbedaan antara penelitian studi kasus holistik (jenis 1) dan terpancang (jenis 2) adalah pada jumlah unit analisis yang digunakan. Pada jenis yang pertama, jumlah unit analisis yang digunakan pada umumnya hanya satu atau bahkan sama sekali unit analisisnya tidak dapat dijelaskan, karena terintegrasi dengan kasusnya. Dalam penelitian studi kasus yang demikian, unit analisis tidak dapat ditentukan karena kasus tersebut juga sekaligus merupakan unit analisis dari penelitian.
Sedangkan jenis yang kedua, penelitian studi kasus terpancang memiliki unit analisis lebih dari satu. Hal ini dapat terjadi karena didasari oleh hasil kajian teori yang menuntut adanya lebih dari satu unit analisis. Tuntutan penggunaan lebih dari satu unit analisis biasanya disebabkan oleh tujuan penelitian yang ingin menjelaskan hubungan secara komprehensif dan detail setiap bagian dari kasus secara lebih mendalam. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa semakin banyak jenis unit analisis yang digunakan, sifat alamiah penelitian akan semakin kabur, karena cenderung menjadi penelitian yang terikat pada keberadaan unit analisisnya.
2. Penelitian studi kasus jamak (jenis 3 dan 4)
Pada dasarnya, penelitian studi kasus jamak adalah penelitian yang menggunakan lebih dari satu kasus. Penggunaan jumlah kasus lebih dari satu pada penelitian studi kasus pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih detail, sehingga diskripsi hasil penelitian menjadi semakin jelas dan terperinci. Hal ini juga didorong oleh keinginan untuk mengeneralisasi konsep atau teori yang dihasilkan. Dengan kata lain, penggunaan jumlah kasus yang banyak dimaksudkan untuk menutupi kelemahan yang terdapat pada penggunaan kasus tunggal, yang dianggap tidak dapat digeneralisasikan.
Proses analisis pada penelitian studi kasus jamak berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menggunakan jumlah responden yang banyak. Pada peneltian kuantitatif, data dari responden dapat diolah secara terintegrasi dengan formula tertentu, sehingga menghasilkan satu kesatuan konsep dalam bentuk model hubungan antar data. Di dalam penelitian studi kasus jamak, Yin (2003a, 2009) menyarankan menggunakan logika replikasi sebagai pendekatan di dalam proses analisisnya. Pada proses ini, setiap kasus harus mengalami prosedur penelitian yang sama, hingga menghasilkan hasil penelitiannya masing-masing. Selanjutnya, hasil dari masing-masing penelitian di perbandingkan, untuk menentukan kesamaan dan perbedaannya. Hasilnya dipergunakan untuk menjelaskan pertanyaan penelitian pada umumnya dan khususnya pencapaian atas maksud dan tujuan penelitian.
Jika dibuatkan dalam suatu diagram, jenis-jenis penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) in dapat dilihat pada gambar diagram pada halaman berikut. Pada diagram tersebut juga dapat dilihat contoh judul-judul penelitian yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis. Contoh penelitian studi kasus holistik tunggal yang diberikan dengan judul ‘Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta’, dan jamaknya adalah ‘Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Gejayan dan Malioboro, Yogyakarta’, menunjukan adanya keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya sebagai suatu penelitian yang holistik. Sementara itu, contoh untuk penelitian studi kasus terpancang tunggal yang berjudul ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro, Yogkyakarta’, dan contoh jamaknya adalah ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro dan Gejayan, Yogkyakarta’, menunjukkan adanya penggunaan istilah ‘studi kasus’. Penggunaan istilah tersebut secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti. Sementara judul utamanya ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan’ menggambarkan unit analisis yang mengikat (memancang) fokus penelitiannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:
Gambar 10: Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Yin (2003a, 2009) (Sumber: Yin, 2009, 46)
Penjelasan penelitian studi kasus tunggal holistik menurut Yin (2003a, 2009) di atas mirip dengan jenis penelitian studi kasus mendalam yang dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Jenis penelitian ini pada dasarnya menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang perlu diteliti untuk mengungkapkan esensi mendalam yang terdapat di balik kasus, tanpa terikat pada unit analisis, karena unit analisis penelitian ini menyatu dengan kasusnya.
Sementara itu, penelitian kasus jamak menurut Yin (2003a, 2009), khususnya yang bersifat holistik mirip dengan penjelasan penelitian studi kasus jamak yang dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Yang menarik adalah adanya penelitian studi kasus terpancang yang dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009), yang tidak dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Keberadaan penelitian studi kasus terpancang ini sebenarnya menunjukkan bahwa penelitian studi kasus dapat diarahkan pada fokus tertentu, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yaitu dengan menggunakan unit analisis. Jadi, unit analisis sebenarnya merupakan bentuk upaya dari pengarahan penelitian studi kasus tersebut. Unit analisis itu ditentukan melalui kajian teori. Dengan demikian, penelitian studi kasus terpancang merupakan penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma positivistik. 

Tujuan Penelitian Studi Kasus

Seperti halnya pada tujuan penelitian lainnya pada umumnya, pada dasarnya peneliti yang menggunakan metoda penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami obyek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami obyek yang ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut, Yin (2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah tidak sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi. Dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekedar menjawab pertanyaan penelitian tentang ‘apa’ (what) obyek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why) obtek tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus. Sementara itu, strategi atau metoda penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar (how much).
Sementara itu, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bertujuan untuk mengungkapkan kekhasan atau keunikan karakteristik yang terdapat di dalam kasus yang diteliti. Kasus itu sendiri merupakan penyebab dilakukannya penelitian studi kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus utama dari penelitian studi kasus adalah pada kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan, fungsi, kesejarahan, kondisi lingkungan fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi kasus harus diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan kasus tersebut dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.
Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian, VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang ‘rasanya berada dan terlibat di dalam suatu kejadian’, dengan menyediakan secara sangat terperinci analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

Case studies aim to give the reader a sense of “being there” by providing a highly detailed, contextualized analysis of an “an instance in action”. The researcher carefully delineates the “instance,” defining it in general terms and teasing out its particularities (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Sementara itu, Doodley (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus merupakan metoda penelitian yang mampu membawa pemahaman tentang isu yang kompleks dan dapat memperkuat pemahaman tentang pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Kelebihan dari metoda penelitian studi kasus adalah pada kemampuannya untuk mengungkapkan kehidupan nyata yang kontemporer, situasi kemanusiaan, dan pandangan umum melalui tentang suatu kasus, melalui laporan-laporan penelitinya. Hasil penelitian studi kasus dapat menghubungkan secara langsung antara pengalaman pembacanya yang awam dengan kasus terlihat sangat kompleks, dan memfasilitasi pemahaman tentang situasi keadaan nyata yang kompleks tersebut untuk lebih mudah dipahami oleh mereka. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:

Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a complex issue and can add strength to what is already known through previous research (Dooley, 2005, 335).

The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations
(Dooley, 2005, 344).
Secara filosofis, berkaitan dengan kasus sebagai obyek yang memiliki kekhususan, Flyvbjerg (2006) menjelaskan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang sangat ideal untuk membuktikan filosofi Karl Popper tentang fasifikasionisme, yang menyatakan perlunya pandangan kritis terhadap setiap fenomena dan kejadian. Penganut faham fasifikasionisme itu sendiri selalu melihat fenomena sosial secara kritis, dengan berupaya mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang berada dibaliknya, sebagai masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Penelitian studi kasus dapat menyediakan kasus-kasus yang dapat menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan, sebagai masukan untuk tindakan berikutnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called “falsification,” which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).
Pada akhirnya, menurut Lincoln dan Guba (1985), penelitian studi kasus adalah penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan berbagai pelajaran yang berharga (best learning practices) yang diperoleh dari pemahaman terhadap kasus yang diteliti. Pelajaran tersebut meliputi tentang bagaimana masalah kasus yang sebnarnya; bagaimana kaitan kasus dengan konteks lingkungan dan bidang keilmuannya; apa teori yang terkait dengannya; apa dan bagaimana keterkaitan isu (unit analisis) yang ada di dalamnya; dan akhirnya apa pelajaran yang dapat diambil untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah kehidupan manusia ke depan.

Proses Penelitian Studi Kasus

Seperti halnya pembahasan tentang pengertian dan jenis-jenis penelitian studi kasus yang berbeda-beda, pembahasan proses penelitian studi kasus juga berbeda-beda di antara para pakar. Pada umumnya perbedaan proses tersebut bersumber dari perbedaan cara pandang mereka terhadap kasus. Dengan kata lain, perbedaan proses dapat terjadi karena perbedaan paradigma yang digunakan di dalam penelitian studi kasus.

Dari kesimpulan pembahasan terhadap paradigma dan jenis-jenis penelitian studi kasus, dapat diketahui bahwa pada dasarnya penelitian studi kasus dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma postpositivistik. Jenis penelitian studi kasus ini lebih menekankan pada kasus sebagai obyek yang holistik sebagai fokus penelitian, seperti yang sring dijelaskan oleh Stake (2005) dan Creswell (2007). Sedangkan yang lain adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma penelitian positivistik. Penelitian studi kasus ini secara umum ditandai dengan penggunaan kajian literatur atau teori pada penelitiannya. Jenis penelitian ini khususnya adalah penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang terikat pada penggunaan unit analisis, seperti yang ditunjukkan dan dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009).

Sesuai dengan pendapatnya, yaitu bahwa proses penelitian studi kasus adalah penelitian yang terfokus pada kasus yang diteliti, Stake (2005) menekankan pada pentingnya kasus pada setiap tahapan proses penelitian studi kasus. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Stake (2005, 2006) menjelaskan proses penelitian studi kasus adalah sebagai berikut:


1. Menentukan dengan membatasi kasus
. Tahapan ini adalah upaya untuk memahami kasus, atau dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang diposisika sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan diteliti, peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.

2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian. Pada tahapan ini, peneliti membangun pertanyaan penelitian berdasarkan konsep kasus yang diketahuinya dan latar belakang keinginannya untuk meneliti. Pertanyaan penelitian dibangun dengan sudah mengandung fenomena, tema atau isu penelitian yang dituju di dalam proses pelaksanaan penelitian.
3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan. Data dan bentuk data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam penelitian. Penentuan data yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya bentuk pengumpulan datanya adalah wawancara baik individu maupun kelompok; pengamatan lapangan; peninggalan atau artefak; dan dokumen.

4.
Melakukan kajian triangulasi terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasar-dasar untuk melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.

5.
Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti. Alternatif interpretasi dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kasus dengan maksud dan tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat menggambarkan makna-makna yang terdapat di dalam kasus, yang jika diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan kasus.

6.
Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.
Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006), Creswell (2007) menjelaskan proses penelitian studi kasus secara lebih sederhana dan praktis, adalah sebagai berikut:

1.
Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menentukan apakah pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan telah sesuai dengan masalah penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi pendekatan yang baik adalah ketika penelitinya mampu menentukan secara jelas batasan-batasan kasusnya, dan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kasus-kasusnya, atau mampu melakukan perbandingan beberapa kasus.

2.
Peneliti mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus yang akan ditelitinya. Kasus tersebut dapat berupa seorang individu, beberapa individu, sebuah program, sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk melakukan penelitian studi kasus, Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk mempertimbangkan kasus-kasus yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus tersebut dapat berjenis tunggal atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi tunggal; terfokus pada kasusnya itu sendiri atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic atau instrumental) (Stake, 2005; Yin, 2009). Creswell (2007) juga menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat mempertimbangkan berbagai alasan atau tujuan, seperti kasus sebagai potret (gambaran contoh yang bermanfaat maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau; kasus yang berbeda dan sebagainya.

3.
Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis kasus dapat dilakukan dalam 2 (dua) jenis, yaitu analisis holistik (holistic) terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek tertentu atau khusus dari kasus (embedded) (Yin, 2009). Melalui pengumpulan data, suatu penggambaran yang terperinci akan muncul dari kajian peneliti terhadap sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau gambaran tentang kegiatan dari hari-ke hari dari kasus tersebut.
Setelah menggambarkan secara holistik, kajian dilakukan lebih terperinci pada beberapa kunci atau tema yang terdapat di balik kasus, yang dilakukan dengan maksud tidak untuk melakukan generalisasi, tetapi lebih banyak untuk mengungkapkan kompleksitas kasus. Caranya dapat dilakukan dengan mengkaji isu-isu yang membentuk kasus, yang diikuti dengan menggali tema-tema yang berada di balik isu tersebut. Kajian ini bersifat sangat kaya terhadap penjelasan tentang konteks atau seting dari kasus tersebut (Yin, 2009). Ketika melakukan penelitian studi kasus jamak, format kajian pertama yang dilakukan adalah kajian terhadap setiap kasus terlebih dahulu untuk mengambarkan isu-isunya dan tema-temanya secara terperinci, yang disebut sebagai within-case analysis (Yin 2009). Selanjutnya, tema-tema hasil kajian per-kasus dikaji saling-silangkan dengan menggunakan analisis saling-silang kasus, atau yang disebut sebagai sebuah cross-case analysis, dan melakukan pemaknaan serta mengintegrasikan makna-makna yang berhasil digali dari kasus-kasus tersebut.

4.
Sebagai tahapan akhir analisis interpretif, peneliti melaporkan makna-makna yang dapat dipelajari, baik pembelajaran terhadap isu yang berada di balik kasus yang dilakukan melalui penelitian kasus instrumental (instrumental case research), maupun pembelajaran dari kondisi yang unik atau jarang yang dilakukan melalui penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study research). Menurut Lincoln dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai tahapan untuk menggali pembelajaran terbaik yang dapat diambil dari kasus yang diteliti.

Berdasarkan penjelasan proses penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Creswell (1998), Hancock dan Algozzine (2006) memberikan pandangan mereka tentang proses penelitian studi kasus. Meskipun demikian, pada kenyataannya, penjelasannya mereka relatif jauh berbeda dengan konsep proses penelitian studi kasus Creswell (1998) yang cenderung berdasarkan paradigma postpostivistik. Sementara itu, mereka lebih cenderung memandang penelitian studi kasus sebagai penelitian yang berdasarkan kepada paradigma positivistik, karena menempatkan kajian teori pada bagian awal penelitian. Berikut ini adalah penjelasan Hancock dan Algozzine (2006) tentang proses penelitian studi kasus, sebagai berikut:


1.
Mempersiapkan panggung. Tahapan ini adalah tahapan pertama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti studi kasus. Tahapan ini bertujuan untuk mempersiapkan berbagai hal yang perlu diketahui sebagai bekal peneliti untuk melakukan penelitian studi kasus. Persiapan tersebut meliputi pengetahuan dan ketrampilan peneliti di dalam menjalankan penelitian studi kasus. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk memahami karakteristik penelitian studi kasus, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa pendekatan dan metoda penelitian studi kasus adalah tepat untuk penelitiannya.

2.
Menentukan apa yang telah diketahui. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan kajian teori dari literatur. Tujuannya adalah untuk membangun konsep dasar penelitian, menentukan pentingnya penelitian; pertanyaan penelitian; mengkaji kelebihan dan kelemahan pendekatan dan metoda penelitian lain yang pernah dipergunakan untuk meneliti isu atau kasus yang sama; penentuan pendekatan dan metoda penelitian studi kasus; menentukan gaya atau bentuk yang akan dipergunakan oleh peneliti untuk mengembangkan pengetahuan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan teori sebagai pengetahuan yang terdapat di dalam litreratur sebagai acuannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Your purposes in reviewing the literature are to establish the conceptual foundation for the study, to define and establish the importance of your research question, to identify strengths and weaknesses of models and designs that others have used to study it, and to identify the style and form used by experts to extend the knowledge base surrounding your question (Hancock dan Algozzine, 2006, 26).

3.
Menentukan rancangan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti menentukan rancangan penelitian yang tepat terhadap maksud dan tujuan penelitiannya, serta khususnya terhadap kasus yang ditelitinya. Di dalam menentukan rancangan penelitian, hal perlu dilakukan adalah menentukan jenis penelitian studinya. Jenis-jenis tersebut dapat berupa apakah penelitian studi kasus yang dipilih berupa penelitian studi kasus tunggal, majemuk, mendalam, holistik, dan sebagainya. Untuk menentukan hal tersebut, Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk mempertimbangkan fungsi kasus di dalam penelitian, apakah sebagai lokus atau instrumen; karakteristik penelitiannya, seperti mengungkapkan, menggambarkan atau menjelaskan sesuatu; dan disiplin ilmu dari penelitiannya. Jenis penelitian studi kasus yang dipilih akan menentukan rancangan penelitiannya, termasuk jenis data yang dibutuhkan, metoda pengumpulan data, dan metoda analisisnya.

4.
Mengumpulkan informasi melalui wawancara. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengumpulan data, khususnya melalui metoda wawancara. Wawancara merupakan metoda utama di dalam penelitian studi kasus kualitatif pada khususnya, dan pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya. Bentuk-bentuk wawancara dapat berupa wawancara individu maupun kelompok. Untuk melakukan tahapan ini, peneliti harus mempersiapkan panduan wawancara, yang dikembangkan dai hasil kajian literatur. Disamping itu, peneliti juga harus menentukan sumber informasi dan teknik-teknik wawancara. Pelaksanaan wawancara dilakukan pada saat sumber informan di lokasi sebagaimana ia melakukan kegiatan sehari-harinya.

5.
Mengumpulkan informasi melalui pengamatan lapangan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek pada kondisi nyata di kejadian sehari-harinya. Obyek yang diamati bermacam-maca, dapat berupa kondisi lingkungan kasus, individu atau kelompok orang yang sedang melakukan kegiatan yang terkait dengan unit analisis, dan operasionalisasi suatu peralatan. Di dalam pengamatannya, peneliti mencatat dan memberikan tema atas obyek atau kejadian yang diamatinya.

6.
Merumuskan dan menginterpretasikan informasi. Pada tahapan ini, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi atas informasi yang dilakukannya. Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi tidak dilakukan pada akhir pengumpulan data, tetapi dilakukan selama melakukan pengumpulan data, baik wawancara maupun pengamatan lapangan. Sehingga pada tahapan akhir penelitian, peneliti dapat memperoleh hasil akhir dari kesinambungan proses interpretasi atas informasi yang didapatkannya selama melakukan penelitian. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan agar selama melakukan penelitian studi kasus, peneliti selalu memfokuskan kepada upaya untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, agar tidak melenceng dari maksud dan tujuan penelitiannya. Hal ini diperlukan karena penelitian akan mendapatkan banyak sekali informasi selama melakukan penelitian, sehingga seringkali dapat membelokkan fokus penelitian dari maksud dan tujuannya.

7.
Menyusun laporan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari penelitian studi kasus. Pada tahapan ini, penulis menuangkan hasil penelitiannya dalam laporan dengan urutan yang logis dan dapat dicerna oleh pembacanya. Hancock dan Algozzine (2006) menyatakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat dipergunakan untuk menyusun laporan penelitian studi kasus, yaitu analisis tematik, analisis kategorial dan analisis naratif. Strategi analisis tematik adalah memberikan pelaporan dengan menekankan pada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian, sehingga menghasilkan tema-tema pelaporan yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Karena kemudahannya, strategi ini sangat tepat digunakan oleh peneliti pemula. Sementara itu strategi analisis kategorial berupaya untuk mengembangkan pelaporan pada penelitian studi kasus jamak yang menghasilkan kategori-kategori atas unit-unit analisis atau kasus-kasus yang diteliti. Sementara itu, strategi analisis naratif adalah pelaporan yang menjelaskan dan menggambarkan kembali data-data yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian berdasarkan maksud dan tujuan penelitinya.

Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi proses penelitian menjadi 2 (dua) jenis, yaitu proses penelitian studi kasus tunggal dan proses penelitian studi kasus jamak. Kedua proses tersebut pada dasarnya mengacu pada proses dasar yang sama. Perbedaannya adalah pada jumlah kasus pada penelitian studi kasus jamak yang lebih dari satu, sehingga membutuhkan replikatif proses yang lebih panjang untuk mengintegrasikan hasil-hasil kajian dari tiap-tiap kasus. Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2009) adalah sebagai berikut:


1.
Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi kasus tunggal maupun jamak.

2.
Menyiapkan, mengumpulkan dan menganalisis data. Pada tahap ini, peneliti melakukan persiapan, pengumpulan dan analisis data berdasarkan protokol penelitian yang telah dirancang sebelumnya. Pada penelitian studi kasus tunggal, penelitian dilakukan pada kasus terpilih hingga dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Pada penelitian studi kasus jamak, penelitian pada setiap kasus dilakukan sendiri-sendiri hingga menghasilkan laporan sendiri-sendiri juga.

3.
Menganalisis dan Menyimpulkan. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari proses penelitian studi kasus. Pada penelitian studi kasus tunggal, analisis dan penyimpulan dari hasil penelitian digunakan untuk mengecek kembali kepada konsep atau teori yang telah dibangun pada tahap pertama penelitian. Sementara itu, pada penelitian studi kasus jamak, analisis dan penyimpulan dilakukan dengan mengkaji saling-silangkan hasil-hasil penelitian dari setiap kasus. Seperti halnya pada penelitian studi kasus tunggal, hasil analisis dan penyimpulan di gunakan untuk menetapkan atau memperbaiki konsep atau teori yang telah dibangun pada awal tahapan penelitian.

Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) tersebut dapat dilihat pada gambar diagram berikut ini:











Gambar: Proses Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 57)

Kesalahpahaman Terhadap Penelitian Studi Kasus

Bent Flyvbjerg di dalam artikelnya yang berjudul Five Misunderstandings About Case-Study Research (Qualitative Inquiry 2006; 12; 219) pernah menuliskan adanya 5 (lima) kesalahpahaman terhadap penelitian studi kasus. Kajian di dalam artikel tersebut menjadi bahan perdebatan di kalangan pengamat, penulis dan peneliti penelitian studi kasus. Artikel tersebut sekaligus juga membuka mata mereka tentang adanya pandangan miring terhadap ‘kepercayaan’ mereka terhadap penelitian studi kasus pada khususnya dan bahkan terhadap pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya.
Sebenarnya melalui artikelnya tersebut, Bent Flyvbjerg berupaya memberikan jawaban atas berbagai pandangan yang dianggap salah (kesalahapahaman) terhadap penelitian studi kasus, yang ditudingkan oleh para peneliti yang berparadigma positivistik pada umumnya dan khususnya peneliti yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Disamping itu, artikel ini juga telah menggelitik pakar lain untuk ikut angkat bicara, yang sekaligus memberikan dukungan terhadap Bent Flyvbjerg, seperti pada artikel yang ditulis oleh Lee Peter Ruddin (You Can Generalize Stupid! Social Scientists, Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12; 797), dan Rob VanWynsberghe dan Samia Khan (Redefining Case Study; International Journal of Qualitative Methods 6-2-Juni 2007).
Marilah kita bahas satu per-persatu dari 5 (lima) kesalahpahaman menurut Bent Flyvbjerg tersebut.
1. Misunderstanding 1: General, theoretical (context-independent) knowledge is more valuable than concrete, practical (context-dependent) knowledge.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya ‘kepercayaan’ yang sangat mendalam dari kaum positivistik bahwa teori-teori general yang sudah diakui kebenarannya selama ini adalah yang telah dibangun dan diuji melalui berbagai penelitian, sehingga semakin mendekati kebenaran yang mendekati mutlak. Oleh karena itu, tentu saja harus dipadang lebih bernilai dibandingkan dengan pengetahuan yang dibangun dari penelitian praktis dan konkret yang selama ini dilakukan melalui penelitian studi kasus pada khususnya dan penelitian kualitatif dengan paradigma postpositivistik pada umumnya. Sementara itu, menurut Ruddin (2006, hal 798-799), penelitian yang bersifat praktis-konkrit memiliki keunggulan lain, yaitu bersifat evaluatif terhadap penerapan teori-teori general tersebut yang hasilnya sangat bermanfaat bagi perbaikan dan bahkan penemuan-penemuan baru yang lebih baik dan orisinil; dan untuk menunjukkan pencapaian kebenaran (truth) baru yang telah dilakukan manusia berdasarkan kepada kehidupan yang nyata. Jadi menurut pada penganut pendekatan postpostivistik ini, penelitian kualitatif, termasuk penelitian studi kasus memiliki peran dan posisinya tersendiri terhadap pengembangan pengetahuan.
2. Misunderstanding 2: One cannot generalize on the basis of an individual case; therefore, the case study cannot contribute to scientific development.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya logika dari para penganut positivistik yang beranggapan bahwa bagaimana mungkin satu kasus (yang dilogikakan ‘satu kasus’ sama dengan ‘satu sampel’ pada penelitian kuantitatif) dapat merepresentasikan suatu populasi yang sedemikian banyaknya. Logika ini langsung dibantah bahwa kasus tidak dapat disamakan dengan sampel, karena pada dasarnya kasus mewakili dirinya sendiri, bukan sebagai representasi dari suatu populasi. Oleh karena itu, obyek penelitian yang telah dipandang sebagai kasus, harus diteliti secara komprehensif, holistik dan menyeluruh, karena hasilnya harus dapat mendiskripsikan kasus tersebut secara lengkap dan utuh. Hasil penelitian terhadap kasus yang menyeluruh itu sendiri tentu saja dapat menyumbangkan pada pengembangan pengetahuan. Contohlah, apabila selama ini pengembangan teori arsitektur benteng kolonial di Indonesia selama ini selalu mengacu pada benteng buatan Belanda, tetapi jika arsitek telah meneliti sebuah benteng kolonial buatan Inggris yang satu-satunya ada di Indonesia, yaitu di Bengkulu, maka melalui hasil penelitiannya itu, ia akan menyumbangkan pengetahuan dan bahkan teori arsitektur benteng kolonial Indonesia yang lain, yang baru dan orisinil.
3. Misunderstanding 3: The case study is most useful for generating hypotheses; that is, in the first stage of a total research process, whereas other methods are more suitable for hypotheses testing and theory building.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya anggapan dari kaum positivistik bahwa kasus hanya bermanfaat untuk membangun hipotesis penelitian yang dilakukan pada bagian awal penelitian. Sedangkan, bagian yang terpenting dari penelitian adalah menguji hipotesis dengan sampel responden yang lebih banyak. Dengan kata lain, hasil dari penelitian studi kasus harus digeneralisasi melalui penelitian dengan pendekatan positivistik, agar kebenaran yang dihasilkan diakui secara lebih luas. Sesungguhnya, seperti telah dijelaskan pada kesalahpahaman nomer satu, kasus harus dipandang sebagai sesuatu yang mewakili dirinya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan dari penelitian terhadap kasus tersebut sangat melekat pada konteks kasus tersebut, sehingga tidak dapat digeneralisasikan seperti halnya pada penelitian positivistik. Meskipun demikian, kebenaran dan pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian studi kasus sering menjadi ‘ilham’ atau ‘stimulan’ bagi para peneliti positivistik untuk melakukan penelitian kuantitatif.
4. Misunderstanding 4: The case study contains a bias toward verification, that is, a tendency to confirm the researcher’s preconceived notions.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya tuduhan bahwa para peneliti sosial, khususnya yang menggunakan penelitian kualitatif atau berparadigma postpositivistik bersifat cenderung telah memiliki prasangka terlebih dahulu terhadap obyek penelitiannya. Dengan demikian, tuduhan ini pun mengarah kepada pada peneliti studi kasus. Hal ini segera dibantah dengan alasan bahwa setiap peneliti studi kasus akan menggunakan berbagai sumber data yang banyak secara terperinci dan menyeluruh yang sangat bersifat kontekstual dan kasuistis, sehingga sulit bagi penelitinya untuk menyelaraskan prasangkanya dengan temuan-temuan di lapangannya. Disamping itu, penggunaan berbagai metoda untuk untuk memvalidasi data di dalam penelitian studi kasus, seperti metoda triangulasi, juga menyebabkan data dan analisis yang dilakukan bersifat obyektif.
5. Misunderstanding 5: It is often difficult to summarize and develop general propositions and theories on the basis of specific case studies.
Bagi para peneliti dengan paradigma positivistik, sulit rasanya untuk menerima hasil dari penelitian atas kasus-kasus khusus (spesifik) sebagai sebuah teori. Karena khusus (spesifik) maka teorinya pun tentu saja tidak bersifat umum. Meskipun demikian, pengetahuan yang berhasil digali dari suatu kebenaran yang khusus-pun tetap harus dianggap sebagai suatu pengetahuan. Dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran yang bersifat spesifik, lokal dan kontekstual, maka pengetahuan jadi akan lebih berkembang secara lebih kaya. Dengan kata lain, melalui cross-case analisis, atau melalui dialog teori, maka kebenaran-kebenaran yang berhasil diangkat melalui penelitian kualitatif dapat memperkaya pengetahuan melalui cara, peran dan posisinya yang tersendiri, dan bahkan dapat diangkat menjadi teori tersendiri. Yin (2009) dan Stake (2005, 2006) telah menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian studi kasus yang khusus pun dapat diangkat menjadi suatu teori.
Singkatnya, kemunculan penelitian studi kasus adalah karena adanya obyek penelitian yang harus dipandang sebagai kasus. Hal ini berdasarkan pendapat Stake (2005) bahwa ‘Case study is not a methodological choice, but a choice what it is to be studied’. Jadi yang terpenting dari penelitian studi kasus adalah memilih kasus yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.

 

Copyright 2010 Bimbingan dan Konseling.

Theme by blogger.com.
Distributed by: best template blogger seo friendly best blogger game template | best japanese vpn cheap vpn gateway