- KONSEP DAN PENGERTIAN BIMBINGAN KONSELING
Kehadiran guru bimbingan dan konseling (guru BK) di Indonesia masih
relatif baru. Pada awal 1970-an, profesi ini baru diperkenalkan di
negeri ini.
Di negeri Paman Sam tempat dilahirkannya profesi ini; guru BK dikenal
dengan istilah scholl counselor (konselor sekolah). Di Indonesia, pada
awalnya dikenal dengan sebutan guru BP (bimbingan penyuluhan). Karena
dalam konteks tugas istilah “konseling” lebih sesuai daripada
“penyuluhan”, pada tahap selanjutnya sebutan guru BP berubah menjadi
guru BK (bimbingan konseling).
Pada beberapa daerah ada pula guru BP yang disebut dengan istilah
guru pembimbing. Akhir-akhir ini, penggunaan sebutan “konselor” lebih
dianjurkan.
Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (6) disebut istilah
“konselor” untuk profesi pendidik ini. Lebih lanjut dalam buku
Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal yang dikeluarkan Dirjen PMPTK Depdiknas tahun 2007,
dijelaskan pendidikan minimal konselor adalah sarjana (S1) program studi
bimbingan dan konseling. Diharapkan setelah lulus pendidikan akademik
dan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) jurusan bimbingan dan
konseling, lulusan dapat melanjutkan pendidikan profesi konselor (PPK).
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di
Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya
landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang
lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang
selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya
atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik,
emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses
berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah
kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli
memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau
wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam
menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan
bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus,
atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu
tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan
potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik
fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah
perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi
gaya hidup (life style) warga masyarakat.
Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar
jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan
perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan,
masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan
lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan
perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang
cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi
masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau
struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke
industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya
tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat
kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak
terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi
moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup
konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari
kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata
tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu
Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya,
seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu- sabu), kriminalitas,
dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan,
karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang
dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU
No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan
keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi
imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan
untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah
pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Bimbingan merupakan terjemahan dari
guidance yang didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone (1966) menemukakan bahwa
guidance berasal kata
guide yang mempunyai arti
to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (1981) mengemukakan bahwa
guidance mempunyai hubungan dengan
guiding: “ showing a way” (menunjukkan jalan),
leading (memimpin),
conducting (menuntun),
giving instructions (memberikan petunjuk),
regulating (mengatur),
governing (mengarahkan) dan
giving advice (memberikan nasehat).
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di bawah ini dikemukakan pendapat dari beberapa ahli :
Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan
sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri
yang dibutuhkan untuk melakukan
penyesuaian diri secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.
Peters dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan bimbingan
sebagai : the process of helping the individual to understand himself
and his world so that he can utilize his potentialities.
United States Office of Education (Arifin, 2003) memberikan rumusan
bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan
secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri
terhadap berbagai bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema
kependidikan, jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam
pelaksanaannya, bimbingan harus mengarahkan kegiatannya agar peserta
didik mengetahui tentang diri pribadinya sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : “guidance is the
help given by one person to another in making choice and adjusment and in solving problem.
Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan adalah
suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada
individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai
kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan
untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan
dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya
(self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam
mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan
kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal
lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Prayitno, dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling
adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan
maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam
bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan
karier, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung,
berdasarkan norma-norma yang berlaku.
M. Surya (1988:12) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses
pemberian atau layanan bantuan yang terus menerus dan sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai perkembangan yang optimal
dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
Bimbingan ialah penolong individu agar dapat mengenal dirinya dan
supaya individu itu dapat mengenal serta dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik,
2000:193).
Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus untuk membantu
perkembangan individu dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara
maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, baik bagi
dirinya maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang,
1990:11).
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih beragam
dalam memberikan pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat
melihat adanya benang merah, bahwa : Bimbingan pada hakekatnya merupakan
upaya untuk memberikan bantuan kepada individu atau peserta didik.
Bantuan dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis. Tercapainya
penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian merupakan tujuan
yang ingin dicapai dari bimbingan.
Bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang penting dalam
proses pendidikan sebagai suatu sistem. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang bahwa proses
pendidikan adalah proses interaksi antara masukan alat dan masukan
mentah. Masukan mentah adalah peserta didik, sedangkankan masukan alat
adalah tujuan pendidikan, kerangka, tujuan dan materi kurikulum,
fasilitas dan media pendidikan, system administrasi dan supervisi
pendidikan, sistem penyampaian, tenaga pengajar, sistem evaluasi serta
bimbingan konseling (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990:58).
Selain itu, dapat ditarik sebuah inti sari bahwa bimbingan dalam
penelitian ini merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada
individu agar dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin, dan
membantu siswa agar memahami dirinya (self understanding), menerima
dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan
merealisasikan dirinya (self realization).
Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara
konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu
masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien
(Prayitno, 1997:106).
Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang
supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri,
untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa
yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39). Dari pengertin tersebut,
dapat penulis sampaikan ciri-ciri pokok konseling, yaitu:
(1) Adanya bantuan dari seorang ahli,
(2) Proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling,
(3) Bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah
agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri dalam mengatasi
masalah guna memperbaiki tingkah lakunya di masa yang akan datang.
Dalam konteks pemberian layanan bimbingan konseling, Prayitno
(1997:35-36) mengatakan bahwa pemberian layanan bimbingan konseling
meliputi layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran,
pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling
kelompok.
Dalam Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan
Konseling tersirat bahwa suatu sistem layanan bimbingan dan konseling
berbasis kompetensi tidak mungkin akan tercipta dan tercapai dengan baik
apabila tidak memiliki sistem pengelolaan yang bermutu. Artinya, hal
itu perlu dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah. Untuk itu
diperlukan guru pembimbing yang profesional dalam mengelola kegiatan
Bimbingan Konseling berbasis kompetensi di sekolah dasar.
- PERANAN GURU DALAM BIMBINGAN KONSELING
Peran guru dalam bimbingan konseling, meliputi :
- Peran guru kelas/mata pelajaran
Di sekolah, tugas dan tanggung jawab utama guru adalah melaksanakan
kegiatan pembelajaran siswa. Kendati demikian, bukan berarti dia sama
sekali lepas dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Peran
dan konstribusi guru mata pelajaran tetap sangat diharapkan guna
kepentingan efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di
sekolah. Bahkan dalam batas-batas tertentu guru pun dapat bertindak
sebagai konselor bagi siswanya. Wina Senjaya (2006) menyebutkan salah
satu peran yang dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing dan untuk
menjadi pembimbing baik guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang
sedang dibimbingnya. Sementara itu, berkenaan peran guru mata pelajaran
dalam bimbingan dan konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan
bahwa guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada siswa
harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur
dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat. Prayitno (2003)
memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam
bimbingan dan konseling adalah :
- Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa
- Membantu guru pembimbing/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang
memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data
tentang siswa-siswa tersebut.
- Mengalih tangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor
- Menerima siswa alih tangan dari guru pembimbing/konselor, yaitu
siswa yang menuntut guru pembimbing/konselor memerlukan pelayanan
pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program
pengayaan).
- Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan
hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan
dan konseling.
- Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani
layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
- 7) Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
- Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka
penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak
lanjutnya.
Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi sangat menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh
karena itu peranan guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat
penting dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran yang
dirumuskan.
Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:
- Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar
informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan
akademik maupun umum.
- Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
- Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta
reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya
(aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika
di dalam proses belajar-mengajar.
- Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
- Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
- Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
- Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
- Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
- Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik
dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat
menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin
dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru
dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
- Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
- Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat
menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan
kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak
sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan
yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama
proses berlangsung (during teaching problems).
- Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan,
menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan
(judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan
kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin
Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing
(teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi
peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan
diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus
membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai
perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil
pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta
didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam
keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan
sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social
inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan
dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi
(self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
- Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
- Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
- Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
- Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
- Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
- Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk
mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan
menjadi pewaris masa depan; dan
- Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk
menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
- Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
- Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar
secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
- Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
- model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
- Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
- Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang
memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
- seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations),
artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana
hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga
dapat mencapai tujuan pendidikan;
- Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
- Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang
mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik;
dan
- Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002)
mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan
keteraturan (
establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (
facilitating learning).
Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait
langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata
letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta
didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk
dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar,
pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab
guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru
untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian
kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam
mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang
tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap
berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang,
berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan
satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang
demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini
terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang
tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas
tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya,
guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya
secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham
penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang
dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak
terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah
efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta
didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun
ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang berlangsung.
- Peran Wali Kelas
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
1) Membantu guru pembimbing/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
2) Membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam
pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya di kelas yang menjadi
tanggung jawabnya.
3) Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa,
khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk
mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling;
4) Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus; dan
5) Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor.
6) Kerjasama guru dan konselor dalam layanan bimbingan konseling.
- Peran guru pembimbing/konselor
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang harus dimili oleh seorang guru penyuluh / konselor.
- Kwalifikasi Dan Pendidikan Guru Penyuluh
Untuk menghadapi kebutuhan dewasa ini seorang guru penyuluh
sekurang-kurangnya harus seorang sarjana muda. Ia harus memiliki
kwalifikasi yang memungkinkannya untuk dapat melaksanakan tugas
penyuluhan dengan berhasil baik. Diantarannya : kecakapan scholastic,
minat terhadap pekerjaannya, dan berkepribadian yang baik.
- Kewajiban Dan Tanggungjawab Guru Penyuluh
Pada umumnya guru penyuluh bertanggungjawab dalam melaksanakan
Bimbingan Pendidikan ( Educational Guidance ), dan Bimbingan dalam
masalah-masalah pribadi ( Personal Guidance ). Iapun harus
menetapkan kasus-kasus yang perlu mendapatkan perhatiannya dengan segera
dengan jalan meneliti catatan-catatan sekolah, mengadakan
pertemuan-pertemuan dengan anggota-anggota staff sekolah lainya,
melaksanakan observasi yang dilakukannya sendiri dan menggunakan teknik
sosiometrik.
- TUJUAN BIMBINGAN KONSELING
Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan
kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di
masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan
yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan
lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya;
(4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi,
penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan
kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan
kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan
tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau
peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan
dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4)
memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan
kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat
bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan
tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan
kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu
konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi
aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.
1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:
- Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja,
maupun masyarakat pada umumnya.
- Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
- Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan
(musibah), sertadan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan
ajaran agama yang dianut.
- Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan
konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik
fisik maupun psikis.
- Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
- Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai
orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa
tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas
atau kewajibannya.
- Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang
diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau
silaturahim dengan sesama manusia.
- Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :
- Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan
memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang
dialaminya.
- Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan
membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap
semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang
diprogramkan.
- Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
- Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti
keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan
mempersiapkan diri menghadapi ujian.
- Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan
pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas,
memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha
memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan
wawasan yang lebih luas.
- Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :
- Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
- Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
- Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja
dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna
bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
- Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai
pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang
pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
- Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara
mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut,
lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan
kerja.
- Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang
kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai
dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
- Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir.
Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia
senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang
relevan dengan karir keguruan tersebut.
- Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau
kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat
yang dimiliki.
Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya,
- JENIS LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah,
terdapat beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa,
diantaranya:
- Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta
didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan
obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar
berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu,
sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap
awal semester.
Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai,
yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
- Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima
dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan,
karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu
peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang
sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan
informasi yang diperolehnya yang memadai.
Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
- Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan
sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang
cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan
dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat
mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan
pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
- Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta
didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok
belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan
ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat
mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya.
Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
- Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik
mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk
mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya.
Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya.
Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
- Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah
peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh
bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang
pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan
keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan
tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok
bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan
kemampuan sosial, serta untukpengambilan keputusan atau tindakan
tertentu melalui dinamika kelompok.
Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
- Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik
(masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan
dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan
tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan
dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok.
Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
- Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak
lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu
dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
- Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang
telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan
pendukung, mencakup :
- Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan
data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta
didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk
memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami
karakteristik lingkungan.
- Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan
keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik.
Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik,
komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
- Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan
peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang
dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya
permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan
tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan
membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat
terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
- Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh
data,keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya
permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama
dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh
keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk
mengentaskan permasalahan klien.
- Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh
penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami
klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih
kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta
ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh
penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang
dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
- PROSEDUR UMUM LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling
tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara
tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam
tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi
masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan
Tindak Lanjut.
A. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta
didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson
(Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan
bimbingan dan konseling, yakni :
- Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua
peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
- Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh
keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing
dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara
yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja,
misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi
informal lainnya.
- Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang
menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang
dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik
yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi,
tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta
diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
- Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara
ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar
yang dihadapi peserta didik.
- Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan
peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
B. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik
kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses
Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan
aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3)
behavioral; dan atau (4) personality. Untuk mengidentifikasi kasus dan
masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen
untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat
Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan
kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik,
seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3)
hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6)
pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (hubungan
muda-mudi); (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks
Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta
didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put
belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1)
faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu
sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat,
kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2)
faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah
termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D. Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami
peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai
alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan
dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses
mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu
dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama
guna membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi.
- Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau
penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan
yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber
permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih
masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau
konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru
atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai
pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non
direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan
tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang
lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru
pembimbing/ konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang
lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
- Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah
seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003)
telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan
konseling yaitu:
- Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
- Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah
pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut
pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004)
mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan
yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria
keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk
menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self
acceptance).
- Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya
serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
- Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam
mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara
sehat dan rasional.
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –
usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai
dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan
dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
- Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif
kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan
konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia
diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
- PENANGANAN SISWA BERMASALAH DI SEKOLAH
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah,
dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang
dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa
yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin
sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan
disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling. Penanganan siswa
bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan
(tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah
satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta
sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi
terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus
diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi
kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai
lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana
berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada
para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan
yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan
pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk
menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan
dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan
menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa
bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan
bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya
kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor
dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut
dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat
mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang
siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah
secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan
harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin
tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang
tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan
dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika
tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang
bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi
masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan.
Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan
siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas
masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko
yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang
dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan
untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski
ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari
sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor
yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari
sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala
sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.Lebih jauh, meski saat ini
paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan
pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan
dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian.
Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus
ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis
(2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas
yang menanganinya, sebagaimana dalam penjelasan berikiut :
- Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar
pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum
minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan
dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala
sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
- Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran,
dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar,
karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan,
mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus
sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan
kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat
pula mengadakan konferensi kasus.
- Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan
alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh
diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat
dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan
psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu
dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan
siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak
semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi
dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama
membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan
pribadi secara optimal.
STUDI KASUS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga
yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang
terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar
kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan
setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua
sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan
sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan
STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan
wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain
sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU
favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima,
tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian
besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan
latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya
tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman
yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong.
Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam
dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya
tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya
sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar
saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya
pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan
serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya
makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat,
sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren
untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan
kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar
supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan
sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila
tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir
kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya,
akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan
memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia
juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya
penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya
seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu
dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu
sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi
perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan
atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau
irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh
orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan
memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya,
memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol
dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak
berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang
sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namundibiarkan terus
berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan
mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri
yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut
misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau
ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya.
Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti
orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi
unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh
pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada
konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan
/ mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan
sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan
hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah
berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan
anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia
menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu
keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep
dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia
akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi
pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya
yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain.
Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia,
mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak
dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui
persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan
menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar
pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap
terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses.
Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung
dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training
dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan
sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan
sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari
seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman
yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah
mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya
sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang
acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya
sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu
kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang
membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap
saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan
dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan
menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti
pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan
pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan
yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling
behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan
merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak
reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.