A. Pedahuluan
Beneka tuggal Ika itu
yang terucap dari seluruh Rakyat Indonesia karena keragaman Sosial,
Budaya, Politik, dan kemamapuan Ekonomi adalah suatu realita masarakat
dan bagsa indonesia. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap
kemampuan pelayanan konseling.
Konseling adalah
suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara
konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara
membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan
pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu
bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bila terjadi kesulitan dalam
mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh klien, dan
kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh
konselor, maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.
Penerapan konseling lintas budaya
mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya
dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan
kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya.
Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya
yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi
individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam
kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut
oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
Proses konseling
memperhatikan, menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan
tersebut. Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan
budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien
yang terlibat dengan budaya tertentu; menyadarkan bahwa permasalahan
yang timbul, dialami bersangkut paut dengan unsur budaya tertentu, dan
pada akhirnya pengentasan masalah individu tersebut perlu dikaitkan
dengan unsur budaya yang bersangkutan.
Program studi bimbingan dan konseling
bertujuan untuk menghasilkan tenaga pendidik yang mampu melaksanakan
pelayanan konseling bagi siswa di sekolah dan warga masyarakat luas.
Konselor harus menguasai Standar Kompetensi untuk memberikan pelayanan
profesi konseling kepada para individu, baik perorangan maupun kelompok,
dalam setting sekolah maupun luar sekolah, sesuai dengan permasalahan
dan tuntutan perkembangan mereka, menurut prinsip-prinsip keilmuan,
teknologi dan pelayanan konseling profesional.
B. PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Istilah budaya berasal dari kata “budaya”yanag
berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat, sesuyi yang sudah menjadi
kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan itu sendiri berarti
“hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa Indonesia,
1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapt
dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat,
yang dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu,
tingkah laku individu sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya
yang diwujudkan dalam berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi
sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku manusia untuk memenuhi
kebutuhanya.
Manusia tidak dapat terlepas dari budaya,
keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap
kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan.
Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji
dan dianalisis oleh ilmu antropologi. Sedangkan bagaimana individu
berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia
adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia
perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri,
melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan within him
(Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif
suatu kelompok sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai
produk, manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari
konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif manusia juga
memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer,
Kammeyer, dan Yetman, 1979).
Pelayanan konseling
hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan
prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan
terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan
klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang
berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu dalam
proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur
budaya.
Keragaman budaya dapat
menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi.
Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu
karena kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik.
Sedangkan bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan
manusia untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya.
Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol
verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang
berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.
Lebih jelas Clemon E.
Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan persamaan
budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi
tersebut tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika
konselor dan klien secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa
berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Jadi
dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi
yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan
serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu
dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi
tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam
konseling lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya
terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup
perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.
C. Unsur-unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya
Dalam pengkajian isu
tentang budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok
dalam konseling lintas budaya, yaitu :
- Individu adalah penting dan khas
- Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
- Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.
Selanjutnya Brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh dalam dalam konseling adalah
pandangan mengenai sifat hakikat manusia, orientasi waktu, hubungan
dengan alam, dan orientasi tindakan. Sehubungan dengan hal tersebut,
Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris Jacson mengemukakan
bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang melingkupi dan
mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa. Lima lingkup yang dimaksud
meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi nasional (negara),
regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia
sebagai individu dalam berbagai bentuk kondisi.
Dari paparan di atas dapat
dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam
konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
- Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.
- Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
- Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
D. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya
1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
Khusus dalam menghadapi
klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem
nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa
konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi
hal-hal sebagai berikut.
- Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
- Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
- Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
- Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
- Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
- Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
- Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.
2. Sikap Konselor
Para konselor
lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat
mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang
dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan
tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami
bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view
klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan
menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan
menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu,
konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama,
kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor
dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
- Dimensi keyakinan dan sikap
- Dimensi pengetahuan
- Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu
Sementara itu, Rao (1992)
mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah
atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal
tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara
halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi
dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien,
maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi
kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai
pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan
(hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai
klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan
memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.
b. Nilai-nilai
Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap
nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial
berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki
keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan
nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.
c. Penerimaan
Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai
peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat
wajar tanpa dibuat-buat.
d. Pemahaman
Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat
tingkatan pemahaman, yaitu(1) pengetahuan tentang tingkah laku,
kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami kemampuan
intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai
dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi
keseluruhan tingkatan tersebut.
e. Rapport
Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang
hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan
efektif.
f. Empaty
Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.
3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah
bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif
dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam
hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan
persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
- Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
- Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
- Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
- Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
- Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
- Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.
Aspek-aspek yang harus di kaji melalui diskusi kelompok
- Aspek-aspek Budaya
- Bahasa
- Agama
- Kekerabatan
- Adat Perkawinan
- Sosial Ekonomi
- Tata Pergaulan
- Tradisi Khusus
2. Permasalahan yang dialami
- Permasalahan inter etnis
- Permasalahan antar etnis
- Permasalahan umum,
DAFTAR PUSTAKA
Aderson J. Donna dan Ann
Craston-Gingras. 1991. “Sensitizing Counselors and Educators to
Multicultural Issues : An Interactive Approach”. Journal of Counseling
and Development. 1991. V. 70
Bernard, Hatorld W. & Fullmer, D.W. 1987. Principle of Guidance. Secon Edition. New York : Harper and Row Publisher.
Brammer, Lawrence M. &
Shostrom, E.L. 1982. Thepetic Psychology : Foundamentals of Counseling
and Psychoterapy. New Jersey : Prentice-Hall.
Brown Duance J. Srebalus David. 1988. An Introduction to the Counseling Profession. USA : by Allyn & Bacon
Corey, Gerald. 2004. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.
Jumarlin. 2002. Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Kneller, G.F. 1978. Educational Anthropology. NewYork: Robert. F. Krieger
May Rollo.2003. The Art of Counseling. New Jersey : Prentice Hall, Inc
Pedersen Paul. Walter J. Lonner and Juris G. Draguns. 1980. Counseling Acroos Culture. USA : by The University Press of Hawaii
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang
Ritzer, G. :Kramer, K. W. C.:dan Yetman, N.R. 1979. Sociology:Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon
0 komentar:
Posting Komentar